Tuesday, June 17, 2008

PANDANGAN PERJANJIAN LAMA TENTANG PENDIDIKAN ANAK
oleh : Pdt. Budiono Joeng, S.Th.
(Pendeta di Gereja Kristus Tuhan—GKT dan dosen di Institut Theologia Aletheia—ITA, Lawang; Sarjana Theologia—S.Th. dari Sekolah Tinggi Theologia Reformed Injili Indonesia—STTRII, Jakarta)
I. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan topik yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah kehidupan manusia. Secara sederhana, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses belajar-mengajar, memberikan dan menghasilkan pengetahuan dan keahlian. Sementara itu Samuel Sijabat mengutip definisi dari Ensiklopedi Pendidikan mengatakan bahwa pendidikan dapat diartikan “semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, serta ketrampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah.1 Dengan pengertian di atas, maka setiap orang atau masyarakat pasti terlibat di dalam pendidikan baik itu formal maupun informal. Itulah sebabnya, pendidikan tetap menjadi topik yang sangat penting untuk dibahas.
Dalam tulisan ini, penulis secara khusus akan membahas pandangan Alkitab tentang pentingnya pendidikan. Namun, mengingat luasnya masalah pendidikan dan Alkitab yang terdiri dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru maka penulis merasa perlu membatasi pembahasan ini. Dalam tulisan ini pembahasannya difokuskan pada pandangan Perjanjian Lama tentang pentingnya pendidikan anak berdasarkan Ulangan 6:4-9.
Masa anak-anak adalah masa yang sangat penting. Masa ini adalah masa yang tidak akan terulang dan yang memberikan kesan yang paling mendalam serta menentukan masa depan seseorang. Selain itu, anak-anak juga merupakan generasi penerus, baik bagi keluarga, masyarakat maupun gereja. Secara khusus, berkaitan dengan masa depan gereja, anak-anak adalah generasi penerus gereja yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Jatuh bangunnya gereja dimasa yang akan datang sangat ditentukan oleh perhatian dan pendidikan yang kita berikan kepada anak-anak.
Selain itu, Tuhan sendiri sangat menghargai anak-anak. Tuhan Yesus selama pelayanannya dibumi juga sangat menghargai anak-anak. Dia membiarkan anak-anak itu datang kepada-Nya, bahkan Dia menjadikan anak sebagai kriteria masuk surga. Kristus juga memberikan perintah agar murid-murid-Nya “menggembalakan domba-domba kecil-Nya” (Yohanes 21:3). Itulah sebabnya, masalah pentingnya pendidikan anak merupakan topik yang sangat menarik untuk dibahas.
Banyak pakar-pakar pendidikan yang telah membahas akan hal ini Sebagian besar pembahasannya ditinjau dari sudut pandang filsafat pendidikan, sosiologis dan psikologis. Namun, sebagai seorang Kristen, tidaklah salah jika kita juga melihat masalah ini dari sudut pandang Firman Tuhan, khususnya dari Perjanjian Lama.
Perjanjian Lama adalah Firman Allah yang merupakan dasar dan otoritas tertinggi bagi konsep, prinsip dan prilaku manusia. (2 Timotius 3:15-16). Disamping itu, Perjanjian Lama juga sangat memperhatikan pentingnya pendidikan anak. Perintah untuk memperhatikan pentingnya pendidikan anak diberikan Allah sendiri sejak zaman Abraham (Kejadian 18:19), dilanjutkan pada zaman Musa (Keluaran 12:26-27) dan dipertegas kembali dalam Ulangan 4:9 ; 6:1-9; 11:18-21 yang selanjutnya juga menjadi perhatian orang-orang bijak (Amsal 1:8; 22:6; 29:17; Pengkhotbah 12:1). Dengan demikian, sangatlah tepat jika Perjanjian Lama, dijadikan dasar untuk memahami pentingnya pendidikan anak. Salah satu bagian Perjanjian Lama yang perlu dijadikan dasar untuk memahami pentingnya pendidikan anak adalah Ulangan 6:4-9.

II. PENTINGNYA PENDIDIKAN ANAK BERDASARKAN ULANGAN 6:4-9
A. Keunikan Ulangan 6:4-9
1. Latar Belakang Kitab Ulangan
Sebelum memahami keunikan Ulangan 6: 4-9, sebaiknya kita terlebih dahulu mamahami latar belakang dan keunikan Kitab Ulangan itu sendiri. Kitab Ulangan adalah salah satu kitab yang ditulis oleh Musa dengan tujuan mengingatkan orang Israel akan kesetiaan Allah dan untuk mendorong mereka agar mengasihi Tuhan dengan segenap hati mereka.2 Dalam kitab ini Musa sedang berhadapan dengan generasi baru yang dipersiapkan untuk memasuki tanah Perjanjian.3 Generasi baru ini ditantang oleh Musa untuk sungguh-sungguh mentaati syarat-syarat Perjanjian Sinai dan mengikut Tuhan dengan segenap hati mereka. Kitab Ulangan juga memiliki struktur dan bentuk sastra yang unik. Lasor dan rekan-rekannya mengatakan bahwa Kitab Ulangan merupakan bagian dari amanat Musa yang berbentuk pidato atau khotbah.4 Melihat akan latar belakang dan keunikan strukturnya dapat disimpulkan bahwa kitab Ulangan berisikan ketetapan-ketetapan dan nasehat-nasehat yang penting dan yang harus dilakukan oleh orang Israel dan keturunannya. Secara khusus posisi Ulangan 6 ditempatkan sebagai ketetapan- ketetapan yang berkaitan dengan 10 perintah Allah dengan penekanan utama pada perintah mengasihi Allah yang Esa dengan sepenuh hati, jiwa dan kekuatan.

2. Keunikan Ulangan 6: 4-9 Dalam Pendidikan Anak Bangsa Israel.
Ulangan 6:4-9 didahului dengan perintah Allah agar bangsa Israel melakukan dan memegang teguh segala perintah dan peraturan yang Allah berikan dengan disertai janji berkat jika mereka setia melakukannya. (ayat 1-3).5 Perintah ini diberikan dalam kaitan dengan persiapan mereka memasuki Kanaan (ayat 3). Tujuan perintah ini diberikan adalah supaya bangsa Israel melakukannya ketika mereka masuk dan hidup di tanah Perjanjian. Selain itu, Ulangan 6:4-9 juga merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Israel, karena berkaitan dengan perintah “syema” yang juga harus diajarkan kepada seluruh anggota keluarga termasuk anak-anak.. Dalam tradisi Yahudi kata “syema” disebut sebagai “the fudamental truth of Israel’s religion” and “ the fudamental duty founded upon it6 Lebih lanjut, Robert R. Boehlke mengatakan bahwa perintah “syema” dalam Ulangan 6:4-9 merupakan suatu patokan bagi keluarga Yahudi yang harus dilaksanakan,...7. “Syema” merupakan merupakan inti dari pengakuan iman bangsa Israel.8 Dalam perkambangan berikutnya “syema” menjadi bagian penting bagi kehidupan bangsa Israel dan menjadi dasar bagi pendidikan kepada anak-anak mereka.

B. Pentingnya Pendidikan Anak Menurut Ulangan 6:4-9
Melalui bagian ini kita dapat menemukan beberapa prinsip penting yang mendasari pentingnya pendidikan anak.
1. Pendidikan Harus Berkaitan Dengan “[m;v.” = Syema”( 6:4).
Ayat 4 diawali dengan kata perintah “ dengarlah ([m;v = syema)”. Kata “syema (dengarlah)” sudah muncul dalam Ulangan 5:1 sebagai pengantar dari bagian yang berbicara mengenai 10 hukum Allah. Dalam tradisi Yudaisme Ulangan 6:4 ini menjadi suatu pengakuan iman yang wajib diucapkan tiap pagi dan tiap malam (bnd. ayat 7) . Perintah “syema” ini berkaitan erat dengan pernyataan “pengakuan bahwa Allah itu Esa” yang merupakan kebenaran yang fundamental bagi agama Israel dan sikap mereka kepada Allah.9 Kata “esa (dx\a,=ekhad)” yang dikaitkan dengan perintah “syema” bukan hanya mengatakan tentang “keunikan” Allah tetapi juga “kesatuan (unity)” Allah.10 Secara lengkap instruksi syema berbunyi : Dengarlah, hai orang Israel : Tuhan itu Allah yang Esa ! Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. “Ini menyatakan bahwa Allah tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Hanya Dia satunya-satunya Allah yang berdaulat dan harus menjadi satu-satunya obyek ibadah, ketaatan dan kasih dari umat-Nya. Oleh karena Allah adalah Esa, maka Israel harus mengasihi Yahweh sebagai Allahnya dengan sepenuh hati, jiwa dan kekuatannya.11 Syema ([m;v.)” adalah inti dari instruksi agama yang diberikan di dalam rumah. Bersama dengan “syema” anak-anak diajarkan perintah untuk hidup yang benar dan merupakan tanggung jawab ayah untuk menjelaskan makna dari perintah-perintah itu dengan menceritakan sejarah bangsa Israel. (Ulangan 6:20-25).12 Syema merupakan ungkapan keyakinan iman (kredo) yang harus diperhatikan dan dilakukan dengan serius. Sementara itu, Von Rad mengatakan bahwa “syema” dalam Ulangan 6: 4 dapat disebut sebagai dogma fundamental dari Perjanjian Lama yang disebut oleh Tuhan Yesus sebagai yang paling penting dari semua hukum.13 Tujuan utama pendidikan dalam Perjanjian Lama adalah membawa bangsa Israel beserta seluruh keturunannya mengenal Allah dan mengasihi-Nya serta hidup benar dihadapan-Nya. Sebagaimana dikatakan Andrew Hill bahwa kehidupan bangsa Isarel tidak lepas dari pengenalan dan ketaatanya kepada hukum Allah. Itulah sebabnya salah satu mandat penting bangsa Isarel adalah pendidikan yang bertujuan dengan rajin mengajarkan anak-anak mereka agar mengasihi Allah dan mengenal serta mentaati 10 hukum Allah dan segala peraturannya.14 Pola pendidikan dengan instruksi “syema” ini mengajar seluruh bangsa Israel beserta keturunannya supaya mengetahui dan mengakui bahwa hanya ada “satu Allah” yang patut disembah yaitu “Allah Yahweh”; Allah Yang Esa dan Allah yang telah mengikat perjanjian dengan Abraham dan keturunannnya. Allah ingin bangsa Israel beserta segala keturunannya hanya menyembah dan mengasihi Dia; tidak ada yang lain. Seluruh tujuan pendidikan Israel ialah menjadikan mereka hidup kudus dan menerapkan ajaran agama dalam kehidupan praktis.

2. Pendidikan Harus Diberikan Dengan Bertanggung Jawab. (ayat 7)
Begitu pentingnya instruksi “syema” bagi kehidupan bangsa Israel, maka hal itu harus dilakukan dengan serius. Keseriusan dalam melakukan dan mengajarkan “syema” dapat dilihat dari beberapa metode yang harus dilakukan.

a. “ Harus Diajarkan Secara Berulang-ulang “!nv=syanan
Kata “!nv=syanan” dapat diartikan sebagai “mengajarkan kata-kata yang penting dengan tekun/berulang-ulang/dengan sejelas mungkin”.15 Sementara itu J. I. Packer, mengatakan bahwa frase “mengajarkan berulang-ulang” berasal dari sebuah kata Ibrani yang biasanya mengacu kepada hal menajamkan sebuah alat atau mengasah sebuah pisau. Apa yang dilakukan batu asah untuk mata pisau , demikian pula pendidikan untuk anak.16 Itulah sebabnya NIV menterjemahkan “impress them on your children.17 Sedangkan LAI menterjemahkan dengan “ mengajarkannya berulang-ulang”. Penekanan pentingnya mengajarkan dengan mengulang bertujuan agar mereka dapat mengingat, memahami dengan jelas dan melakukannya.

b. “Harus Diajarkan Dalam Setiap Kesempatan”
Keseriusan di dalam mengajarkan “syema” selain diulang-ulang juga harus dilaksanakan setiap waktu dan disetiap tempat. Kalimat,” membicarakannya apabila engkau duduk dirumahmu, dalam perjalanan, berbaring maupun bangun” menunjukkan betapa seriusnya pengajaran “syema” ini. Dalam hal ini tepatlah yang dikatakan Robert R. Boehlke bahwa ruang lingkup pendidikan Yahudi, bukan satu usaha sambilan saja, yang hanya dilaksanakan dalam salah satu sudut kehidupan saja, melainkan bagian inti dari kehidupan sehari-hari yang lazim dilakukan.18 Dimanapun ada kesempatan maka “syema” harus di ajarkan.
c. Harus Diajarkan Dengan Prinsip Keteladanan (ayat 16-19)
Selain mengajar dengan berulang-ulang, orang tua dituntut untuk melakukan terlebih dahulu apa yang Tuhan inginkan (Ulangan 6: 16-19). Pada bagian ini Musa menyampaikan kepada orang tua bahwa ada dua cara dasar untuk mengajar anak mereka yakni instruksi yang bersifat formal (mengajar) dan informal. Melalui instruksi formal mereka harus mengajar tentang kebenaran. Sedangkan melalui instruksi informal mereka mengajar dengan menjadi teladan dalam menjalankan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. Keduanya sama pentingnya. Namun, bagian ini lebih menekankan pada instruksi informal atau gaya hidup sekari-hari.19 Orang tua harus mengajar dengan menjadi teladan yang baik di dalam kehidupannya sehari-hari. Tujuan dari metode pendidikan seperti ini adalah untuk mengajar bangsa Israel beserta keturunannya agar sungguh-sungguh mengingat karya dan perintah Tuhan. Tuhan menginginkan agar mereka sungguh-sungguh mengasihi-Nya dengan segenap hati, jiwa dan kekuatannya, secara khusus ketika mereka memasuki Kanaan20 (Ulangan 6:12-25). Melalui metode pendidikan dengan instruksi “syema” ini menunjukkan bahwa Allah sangat memperhatikan tentang pentingnya pendidikan dan bagaimana proses pendidikan itu dapat diberikan dengan benar dan bertanggung jawab.

3. Pendidikan Harus Diberikan Sejak Anak-anak (6:7; 20-25)
Dalam bagian ini ada 2 kali penekanan pentingnya pendidikan diberikan kepada anak-anak. Dalam ayat 7 perintah “syema” harus diberikan kepada “anak-anak” mereka yaitu dengan “mengajarkannya berulang-ulang”. Hal ini ditekankan kembali dalam ayat 20-21 agar orang tua siap mengajarkan tentang siapakah Allah dan karya-Nya bagi bangsa Israel kepada anak-anak mereka. Sejak awal masa anak-anak , seorang anak laki-laki telah belajar sejarah Israel. Anak-anak belajar bahwa bangsa Israel telah mengikat perjanjian dengan Allah, Perjanjian itu menempatkan batasan-batasan tertentu pada mereka. Mereka mempunyai tanggung jawab terhadap Allah karena Allah telah menebus mereka. Pendidikan iman kepercayaan mereka dalam hubungan dengan Allah Yahweh menjadi hal yang sangat penting untuk diajarkan dan dilakukan. Pada hakekatnya seorang ayah Israel bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya; tetapi para ibu juga memainkan peranan yang amat penting, terutama sampai anak mereka mencapai usia lima tahuan. Selama tahun-tahun pertumbuhan itu, sang ibu seharusnya membentuk masa depan anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan.21 Ini menunjukkan bahwa Allah bukan hanya memerintahkan pentingnya orang tua Israel mengajarkan kepada anak-anak mereka hidup mengasihi-Nya tetapi juga memperhatikan pentingnya masa anak-anak. Allah menginginkan agar anak-anak belajar bahwa bangsa Israel telah mengikat perjanjian dengan Dia. Sebagai bangsa yang terikat perjanjian dengan Allah, maka mereka harus hidup bertanggung jawab kepada Allah dan mengasihi Allah karena Ia telah menebus mereka. Dalam perkembangannya, pentingnya pendidikan sejak anak-anak ini dikaitkan dengan pengaruhnya terhadap masa depan mereka (bnd. Amsal 22:6). Dalam kehidupan bangsa Israel kehidupan mereka sangat ditentukan oleh hubungan dan sikap mereka terhadap Allah. Sebagai umat Allah maka berhasil tidaknya kehidupan mereka sangat ditentukan oleh ketaatan mereka kepada Allah. Jika mereka taat akan mendapatkan berkat,jika tidak taat akan mendapatkan kutuk. Realita ini nampak dengan jelas di sepanjang perjalanan bangsa Israel yang telah diungkapkan dalam Perjanjian Lama. Itulah sebabnya, pendidikan yang diberikan kepada anak-anak selalu mencakup pelajaran agama dan dilengkapi dengan pelatihan dalam berbagai ketrampilan yang akan mereka perlukan dalam kehidupan sehari-hari.

4. Pendidikan Adalah Tanggung Jawab Orang Tua (ayat 7)
Kalimat dalam ayat 7 “haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu” dan dalam ayat 21 “maka haruslah engkau menjawab anakmu..” menunjukkan bahwa orang tua memiliki tugas dan tanggung jawab dalam pendidikan anak-anak mereka. Oleh karena perintah ini berkiatan dengan instruksi syema, maka orang tua pertama-tama bertanggung jawab atas pendidikan rohani anak-anak mereka. Ini merupakan tugas yang sangat mendasar dan penting untuk dilakukan orang tua kepada anak-anaknya. Orang tua dianggap yang paling bertangung jawab dalam pendidikan anak-anak oleh karena mereka adalah orang yang terdekat. Sebagaimana dikatakan oleh J. I. Packer bahwa Allah memakai manusia untuk mengajarkan Taurat kepada bangsa Israel—seperti Musa, para imam dan para nabi. Murid-murid mereka adalah orang dewasa dari bangsa Israel, yang kemudian mereka bertanggung jawab untuk meneruskan kepada anak-anak mereka.22 Sebagian besar pendidikan dilakukan oleh orang tua, tidak ada ruang kelas atau kurikulum yang tersusun.23 Peran orang tua yang pada mulanya mendidik anak-anak dalam bidang agama berkembang dengan mengikut sertakan pendidikan dalam bidang ketrampilan-ketrampilan khusus. Anak-anak Israel juga diajarkan keahlian-keahlian yang mereka perlukan agar menjadi orang yang berhasil di dalam komunitasnya.24 Bangsa Israel adalah sebuah masyarakat petani; banyak hikmat praktis yang diturunkan dari ayah kepada anak-anak laki-laki adalah mengenai bertani. Selain itu, para ayah juga bertanggung jawab untuk mengajar anak laki-lakinya sebuah kejuruan dan ketrampilan. Misalnya, apabila sang ayah adalah tukang periuk, ia mengajar ketrampilan itu kepada anak laki-laki. Sementara anak laki-laki belajar ketrampilan ini, anak-anak perempuan belajar membakar roti, memintal dan menenun di bawah pengawasan ibunya. (Keluaran 35:25-26; band. II Samuel13:8). Apabila tidak ada anak laki-laki dalam keluarga, anak-anak perempuan mungkin harus belajar pekerjaan ayahnya Kejadian29:6; Keluaran 2:1625 Secara khusus, anak laki-laki Yahudi disamping membaca Kitab Suci , juga mendapat pelajaran tatakrama, musik, cara bertempur, dan pengetahuan praktis lainnya.26
Pola pengajaran atau pendidikan semacam ini merupakan bagian penting dalam sepanjang zaman Alkitab. Peranan orang tua terus menjadi hal yang penting meskipun pendidikan formal sudah ada. Ini membawa kita kepada pemahaman bahwa Allah sangat memperhatikan pentingnya pendidikan anak dan pentingnya peranan orang tua dalam pendidikan anak. Allah memilih keluarga untuk menjadi tempat berlangsungnya proses pembentukan diri anak. Dalam hal ini tepatlah yang dikatakan Gary J. Oliver mengatakan bahwa Ulangan 6 merupakan bagian Alkitab yang menjelaskan bahwa Allah merancang keluarga sebagai wadah untuk mengajarkan (malalui pendidikan formal) dan menunjukkan (melalui teladan hidup) realitas pribadi Allah yang hidup.27

III. KESIMPULAN
Melalui pembahasan ini, dapat disimpulkan bahwa Allah sangat mementingkan pendidikan anak dan peranan serta tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak-anak mereka dengan benar. Di era global ini banyak orang tua yang kurang menyadari betapa pentingnya peranan mereka dalam pendidikan anak-anak. Banyak orang tua yang hidupnya mapan cenderung berfikir bahwa dengan menyediakan pengasuh bagi anak-anaknya, menyekolahkan mereka disekolah yang terbaik itu sudah cukup. Mereka tidak lagi mau untuk direpotkan; mereka cenderung berfikir pragmatis. Sedangkan bagi mereka yang harus berjuang uintuk memenuhi kehidupan mereka tidak ada waktu yang cukup untuk memikirkan tentang bagaimana memberikan pendidikan yang benar dan sehat bagi anak-anak mereka. Waktu mereka telah banyak terkuras hanya pada masalah-masalah yang berkaitan dengan upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hal ini menyadarkan kita tentang betapa pentingnya untuk menekankan kembali peranan dan tanggung jawab orang tua dalam pendidikan anak , khususnya pada masa kini. Berdasarkan pembahasan di atas, maka dalam kesempatan ini penulis ingin membagikan beberapa hal penting yang harus dimiliki para orang tua Kristen berkaitan dengan peranan mereka dalam pendidikan anak.
Pertama, para orang tua Kristen harus memperhatikan dan menghargai pentingnya kebutuhan rohani anak-anak. Tujuan utama pendidikan Kristen adalah membawa setiap orang termasuk anak-anak mengenal Allah dengan benar di dalam Kristus. Pengenalan akan Allah sangatlah penting dan hal yang mendasar bagi kehidupan Kristen. John Calvin dalam bukunya “Institutio” menempatkan pengenalan akan Allah dan diri sendiri menjadi dasar bagi hikmat manusia.28 Pengenalan akan Allah adalah panggilan dan tujuan hidup manusia. Katakismus Singkat Westminter dengan jelas mengungkapkan bahwa tujuan tertinggi manusia adalah mempermuliakan Allah dan memperkenankan Dia selamanya.29
Manusia adalah ciptaan Allah yang dicipta serupa dengan gambar dan rupa Allah. Sebagai ciptaan Allah, manusia bukan hanya sebagai mahkluk yang harus bergantung kepada Allah tetapi juga harus berorientasi kepada Allah. Allah harus menjadi satu-satunya yang disembah, dilayani dan dikasihi. Hal ini juga nampak dengan jelas di dalam kehidupan bangsa Israel melalui prinsip pendidikan yang di dasarkan pada “syema”. Namun, ketika manusia (Adam sebagai kepala perjanjian) jatuh dalam dosa, maka tujuan ini menjadi rusak. Oleh karena kejatuhan manusia dalam dosa maka seluruh umat manusia menjadi orang berdosa. Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa semua manusia adalah orang yang berdosa. (Roma 3:23), termasuk anak-anak (Mazmur 51:7). Hidup mereka berstatus berdosa, dikuasai dosa dan tercemar oleh dosa. Kebenaran ini merupakan salah satu ajaran penting dalam theologi Reformed. Dalam pandangan theologi Reformed realita keberdosaan menusia ini ini disebut dengan “Total Depravity30 Manusia yang berdosa tidak lagi mengutamakan “pengenalan “ akan Allah sebagai tujuan hidupnya. Orientasi mereka hanya kepada diri sendiri Selain adanya realita di atas, pada saat ini anak-anak juga sedang menghadapi tantangan yang begitu berbahaya, baik itu melalui bacaan maupun televisi. Seperti yang dikatakan oleh Gary J. Oliver bahwa sebagian besar anak sekarang lebih akrab dengan tokoh-tokoh kartun daripada tokoh Alkitab.31 Sementara itu, Phil Philip dalam bukunya “Kacau Dalam Kotak Mainan”32 menambahkan bahwa Film-film kartun yang beorientasi pada hal-hal seksual, okultisme dan kekerasan bagi anak-anak sama buruknya dengan televisi dan bioskop yang beorientasi pada hal-hal seksual, okultisme dan kekerasan bagi orang dewasa.33 Melihat hal ini, maka pendidikan rohani anak-anak merupakan hal yang harus segera dilakukan dan diperhatikan oleh orang tua dengan serius. Jika tidak maka anak-anak kita dengan mudahnya akan menjadi orang yang melawan Tuhan. Para orang tua Kristen harus menyadari bahwa anak-anak juga perlu segera untuk dibebaskan dan diselamatkan dari cengkraman kuasa dosa. Dengan kata lain, mereka juga memiliki kebutuhan rohani yang sama dengan orang dewasa yaitu membutuhkan karya penebusan Kristus. Itulah sebabnya, orang tua Kristen pertama-tama harus berupaya membawa anak-anak memiliki hubungan yang benar dengan Kristus. Perhatian utama orang tua Kristen adalah bagaimana membawa setiap anak mengenal dan menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Kristus datang ke dunia bertujuan untuk membebaskan manusia dari belenggu dosa dan membawa kembali dalam relasi yang benar dengan Allah. Setiap orang yang bertobat dan percaya kepada-Nya akan mendapatkan pengampunan dosa, dibenarkan, diperdamaikan, dikuduskan, menjadi anak-anak Allah dan mendapatkan hidup kekal. Dengan ini manusia barulah dapat mengenal Allah dengan benar dan memuliakan Allah (I Korintus 10:31). Hidupnya tidak lagi berorientasi pada dosa tetapi untuk kemuliaan Allah. Itulah sebabnya, orang tua juga harus menyadari dan berupaya dengan sungguh-sungguh bagaimana membawa anak-anak mereka berjumpa dengan Kristus dan membimbing mereka untuk hidup sesuai dengan kehendak-Nya dan menggenapkan apa yang Tuhan kehendaki di dalam segala aspek kehidupannya. Seperti yang dikatakan oleh Gary J. Oliver bahwa :
“Banyak orang tua yakin bahwa jika mereka dapat menyediakan makan dan tempat tinggal yang baik, lingkungan yang aman, pakaian bagus, wadah untuk kegiatan, uang yang cukup mobil yang layak , juga pendidikan yang tinggi, berarti mereka telah melakukan hal yang terbaik yang mereka dapat lakukan. Semuanya itu memang baik, tetapi sebagai orang tua kristiani yang terbaik bukanlah menyediakan kebutuhan materi tetapi juga meliputi dorongan agar anak-anak memiliki hubungan pribadi dengan Kristus dan dukungan agar mereka memiliki bekal untuk bertumbuh, berkembang dan matang.”34
Kedua, Para orang tua Kristen harus mengembangkan dan mengarahkan potensi anak dengan benar dan bertanggung jawab dihadapan Allah. Alkitab menyatakan bahwa manusia dicipta “serupa dengan gambar dan rupa Allah sendiri.” Anthony Hoekema, dalam bukunya “Manusia Ciptaan Menurut Gambar Allah” dalam penjelasannya tentang hakekat manusia sebagai “gambar dan Rupa Allah” mengatakan bahwa manusia selain memiliki tujuan hidup yang harus terarah pada Allah dan bertanggung jawab kepada-Nya, manusia juga memiliki salah satu tugas penting yaitu dipanggil untuk mengembangkan semua potensi yang ditemukan di dalam alam dan di dalam diri umat manusia.35
Ini berarti, manusia mampu mengelolah dan mengusahakan alam. Dengan potensinya manusia bukan hanya dapat mengembangkan bidang agrikultural, pengembangbiakan binatang, tetapi juga ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Manusia dipanggil untuk mengelolah alam dan segala isinya melalui segala potensi yang ada didalam diri dengan bertangung jawab kepada Allah. Dengan kata lain, segala potensi yang ada dalam dirinya, manusia dipanggil untuk mengelolah dan memelihara alam ini untuk kemuliaan Allah. Melihat potensi manusia (termasuk anak-anak) yang sedemikian luar biasa, maka sudah seharusnyalah para orang tua mengarahkan dan mengembangkan potensi itu dengan benar dan bertanggung jawab di hadapan Allah. Dengan kata lain, para orang tua harus menyediakan pendidikan yang bersifat holistik yaitu pendidikan yang dapat mengintegrasikan iman dengan kehidupan sehari-hari; menekankan keseimbangan antara kemampuan intelek dengan karakter dan moralitas anak; mengembangkan anak sesuai dengan potensinya secara bertanggung jawab agar mereka kelak depat mempertanggung jawabkan potensinya sesuai dengan kehendak dan rencana Tuhan. Dengan demikian, mereka akan menjadi alat Tuhan yang mendatangkan kemuliaan bagi Nama-Nya.
Ketiga, para orang tua Kristen harus rela melibatkan diri dalam pendidikan anak-anaknya melalui perhatian,pendampingan, bimbingan dan keteladanan yang benar. Tanggung Jawab dan peran orang tua dalam pendidikan anak-anak merupakan sebuah tugas yang mulia. Josh McDowell dalam bukunya “The Father Connection” yang secara khusus menyoroti peran ayah dalam pendidikan anak mengatakan bahwa menjadi ayah merupakan pekerjaan yang sangat dibutuhkan di dunia. Hubungan seorang anak dengan ayah merupakan sebuah faktor yang menentukan dalam kesehatan, perkembangan dan kebahagiaan pemuda atau pemudi.36 Sementara itu Gary J. Oliver memberikan beberapa prinsip penting berkaitan dengan paranan orang tua dalam membentuk keluarga Kristiani yang sehat dan memberikan pengaruh positif bagi pendidikan anak. Pertama, Orang tua harus membangun pola hubungan seperti pola Allah berkomunikasi kepada anak-anak-Nya , dimana anugerah berlimpah itu ditunjukkan dan kebenaran benar-benar di praktikkan, bukan sekedar dibicarakan. Kedua, menyediakan suasana yang penuh dukungan, dorongan dan kesempatan yang positif untuk bertumbuh, termasuk di dalamnya kesediaan antar anggota untuk saling menolong dalam meraih pengetahuan, pemahaman dan penerimaan akan Allah dan Yesus Kristus. Ketiga, orang tua harus menjadi teladan yang nyata sebagai orang yang dibentuk menjadi serupa dengan gambar Allah.37 Selanjutnya, Gary J. Oliver mengutip perkataan Andrew Murray dalam bukunya “How To Raise Your Children for Christ” yang menekankan pentingnya keteladanan, mengatakan :
“Kekuatan dalam mendidik anak tidak terletak pada perkataan atau pengajaran kita , tetapi pada diri dan tindakan kita. Tidak pada apa yang kita pikirkan tentang pengajaran ideal bagi anak kita, tetapi melalui hidup, kita mendidik mereka . Bukan harapan atau teori kita, tetapi kemauan dan kehidupan nyata kitalah yang mendidik mereka. Dengan hidup seperti Kristus kita membuktikan bahwa kita mengasihi kehidupan Kristus , bahwa kita memilikinya ; dan dengan demikian mempengaruhi orang muda untuk juga mencintai dan memilikinya.”38
Jelaslah bahwa keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak-anak melalui perhatian, pendampingan, bimbingan dan keteladanan yang benar sangat diperlukan pada masa kini. Hal itu akan memberikan pengaruh yang sangat besar bagi pekembangan dan masa depan anak kita. Sebagai orang tua, kita dipanggil oleh Allah dengan tugas untuk memimpin, mengarahkan, mengasuh dan mendisiplin anak-anak kita dengan bertanggung jawab, supaya anak-anak kita kelak menjadi orang yang hidup di dalam kehendak Tuhan dan memuliakan Nama-Nya. Amin !!!
Kepustakaan:
Baxter, J. Sidlow. (1980). Menggali Isi Alkitab. Jakarta: OMF.
Boehlke. Robert R. (1991). Sejarah Perkembangan dan Praktek Pendidikan Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Brown. F., Driver. S., and Briggs, C. (1999). The Brown-Driver-Briggs Hebrew And English Lexicon. USA: Hendrickson Publisher.
CalvinYohanes. (1999). Institutio, Pengajaran Agama Kristen. Jakarta : BPK. Gunung Mulia.
Christensen, Duanel L. (1991). “Deuteronomy 1-11”, Word Biblical Commentary, Dallas: Texas: Word Books Pub..
Culpepper. R. A. (1982). “Education”, The International Standart Bible Encyclopeia Vol. 2, ed. Geoffrey W. Bromiley. Grand Rapids, Michigan: William B. Errmans Pub.
Rev. Driver. Samuel Rolles and Friends. (1986). The International Critical Commentary. Edinburg: T & T Clark.
Hill. Andrew. (2000). “Education in Bible Times” Evangelical Dictionary of Biblical Theology, ed. Walter A. Ellwell. Grand Rapids, Michigan: Baker Books House.
Hoekema. Anthony. (2003). Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, terj. Irwan Tjulianto, Surabaya: Momentum.
Keil & Delitzsch. (2001). Commentary On The Old Testament Vol. 1 “Pentateuch”. Hendrickson Pub.
Lasor. W. S., D., Hubbart. A., Bush. F.W. (1993). Pengantar Perjanjian Lama 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
McDowell.Josh. (2004). The Father Connection, terj. T Wahyuni . Jakarta: Metanoia.
NIV Study Bible “Deuteromonis”, p. 254.
Packer. J. I. (2001). Ensklopedi Fakta Alkitab. Malang: Gandum Mas.
Philip, Phil. (1986). Kacau Dalam Kotak Mainan 1. Surabaya: Citra Pustaka
Sijabat, B. Samuel . (1996). Strategi Pendidikan Kristen. Yogyakarta: Yayasan Andi
Thomson, J. A. (1974). Deuteronomy, Tyndale Old Testament Commentaries, ed. Wiseman, Illinois, USA: IVP.
Williamson. G. I. (1999). Katekismus Singkat Westminter 1, terj. The Boen Giok. Surabaya: Momentum.
Wofl, Herbert. (1998). Pengenalan Pentateuk. Malang : Gandum Mas.
Wright, Norman and Oliver, Gary J. (2003). Raising Kids To Love Jesus. Yogyakarta: Gloria Grafa.
Sumber: www.lrii.org.
Diedit sedikit oleh: Denny Teguh Sutandio.


"For I am not ashamed of the gospel of Christ: for it is the power of God unto salvation to every one that believeth; to the Jew first, and also to the Greek."
(Romans 1:16; King James Version)

Monday, April 14, 2008

PENDERITAAN YANG BERHARGA
(Precious Suffering)
oleh: Denny Teguh Sutandio
Nats: Roma 5:6-11
Dunia hari-hari ini, orang-orang non-Kristen mencoba menyodorkan suatu penemuan “ilmiah” yang diyakini akan “menghancurkan” iman Kristen. Dari novel (yang dianggap fakta oleh penulisnya, Dan Brown), Da Vinci Code, sampai “Injil” Thomas dan Barnabas, dunia postmodern yang berdosa ini mulai dipakai setan untuk merendahkan Kristus dan mengajar bahwa Kristus menikah dengan Maria Magdalena, Kristus tidak mati, tetapi Yudas yang mati, dll. Benarkah demikian? Siapakah Kristus sebenarnya? Apakah Dia benar-benar mati? Mengapa Ia harus mati? Seberapa signifikan dan agungnya kematian-Nya?
Menjelang Jumat Agung tahun 2008 ini, kita akan merenungkan satu perikop tentang teladan dan pengharapan penderitaan yang Kristus alami sebagai alasan mengapa penderitaan karena nama Kristus (yang harus kita alami) itu berharga. Ingatlah, setiap orang Kristen yang sungguh-sungguh mau mengikut Kristus harus menyangkal diri, memikul salib dan mengikut-Nya (Matius 16:24). Penderitaan adalah harga yang harus kita tanggung di dalam mengikut Kristus. Meskipun demikian, sebagai anak-anak-Nya, kita dijamin oleh-Nya bahwa di dalam penderitaan, penderitaan Kristus yang telah mengalahkan maut menjadi pengharapan masa depan yang indah yang akan menanti kita sekaligus teladan bagi penderitaan yang kita alami. Mari kita merenungkan kedua poin ini di dalam ayat 6-11. Di dalam keenam ayat ini, Paulus membagi enam prinsip penderitaan penebusan Kristus sebagai teladan dan pengharapan bagi kita yang menderita karena nama Kristus.
Pertama, penderitaan Kristus ditujukan untuk orang-orang berdosa (lemah dan durhaka). Di dalam ayat 6a, Paulus menguraikan, “Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka…” Di dalam bagian ini, Paulus langsung menunjukkan status dan kondisi kita yang berdosa. Pertama, kondisi lemah. “Karena waktu kita masih lemah” dalam Alkitab terjemahan King James mengartikannya, “For when we were yet without strength…” International Standard Version (ISV) menerjemahkannya powerless (=tidak ada kekuatan). Dengan kata lain, “lemah” berarti tanpa kekuatan (strengthless bisa diterjemahkan sick/sakit, impotent/tidak bertenaga, dll). Ini adalah kondisi kita ketika jatuh ke dalam dosa. Dosa mengakibatkan kita lemah, tak bertenaga apapun untuk berbuat sesuatu yang baik. Dengan kata lain, dosa mematikan keinginan kita untuk menyenangkan Allah. Mengapa ? Karena dosa adalah ketidaktaatan terhadap perintah-Nya atau menyelewengnya kita dari sasaran Allah. Paulus di dalam Roma 7:18 menuturkan, “Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik.” Paulus menuliskan hal ini di dalam perikop tentang perjuangan hukum Taurat dan dosa. Di dalam bagian ini, ia menjelaskan bahwa meskipun hukum Taurat itu baik bagi umat-Nya, tetapi ketika kita masih hidup di dalam dunia ini, dosa terus melekat di dalam kita sehingga ketika kita ingin berbuat sesuatu yang menyenangkan Allah, ternyata kita malahan mendukakan hati-Nya (Roma 7:19-20). Itulah kuasa dosa yang terus membuat kita mendukakan hati-Nya. Kedua, status orang durhaka. Paulus mencatat hal ini di dalam ayat 6a di atas dengan menggunakan terjemahan ungodly di dalam KJV yang dalam bahasa Yunaninya asebēs berarti irreverent, that is, (by extension) impious or wicked: - ungodly (man). (=tidak sopan, yaitu, (secara perluasan) tidak beriman/berTuhan atau jahat: orang yang tak berTuhan.) Dengan kata lain, ketika kita jatuh ke dalam dosa, status kita langsung disebut “tidak berTuhan” dan “jahat”. Itulah status yang kita layak tanggung akibat ketidaktaatan manusia pertama. Kalau secara kondisi, kita lemah dan tak berdaya dalam menghadapi dosa, maka secara status, kita lebih kejam lagi yaitu benar-benar menyetujui adanya dosa dan melawan Allah, sehingga disebut “tidak berTuhan”. Di sini, status kita melebihi kondisi kita. Bagaimana dengan realita dunia kita ? Dunia postmodern yang kita hidupi saat ini mulai membalikkan/meniadakan realita ini dengan mengajarkan bahwa di dalam diri kita ada kekuatan besar yang berdiam (giant power/force dwells in us). Ajaran ini dipengaruhi oleh Gerakan Zaman Baru dengan ide man is god (manusia adalah “allah”). Dan anehnya, ajaran gila ini rupanya telah merasuki dunia pendidikan (khususnya manajemen), psikologi, dan bahkan di dalam keKristenan. Alhasil, tidak heran, kita melihat seorang Tung Desem Waringin, Andrie Wongso, dll laris diundang bahkan di sebuah kampus “Kristen” swasta terkenal di Surabaya, bahkan dipopulerkan di dalam keKristenan (oleh beberapa dosen “Kristen) dan “gereja” melalui buku-buku Berpikir Positif dari Norman Vincent Peale, David Yonggi Cho, Robert H. Schuller, Zig Ziglar (buku terkenalnya : “Smile” dipakai sebagai bahan “renungan” oleh seorang dosen “Kristen” yang adalah istri “pendeta” emeritus GKI Pregolan Bunder, Surabaya di dalam setiap perkuliahannya di salah satu kampus “Kristen” terkenal di Surabaya), dll. Orang-orang Kristen terus-menerus diindoktrinasi bahwa mereka itu hebat, pintar, mampu, bijaksana, dll dan mulai disimpangkan/diselewengkan dari berita Alkitab bahwa manusia itu berdosa. Itu adalah tipu daya setan yang mulai meracuni keKristenan, tetapi sayangnya banyak orang “Kristen” masih tertidur oleh bujuk rayu si setan dan tidak mau kembali kepada Alkitab. Sudah saatnya, para kaum pilihan-Nya sadar dari tipu daya si setan, bertobat dan kembali kepada Alkitab sebagai satu-satunya kebenaran mutlak. Alkitab mengajarkan bahwa kita berdosa, dan itu harus kita amini dan sadari. Kesadaran tentang dosa adalah titik awal nantinya kita bisa bertobat. Ketika kita tidak menyadari dosa ini, kita tidak mengerti untuk apa kita bertobat dan lebih parah kita tidak mengerti untuk apa Kristus mau mati bagi dosa-dosa kita. Kembali, semua status dan kondisi kita yang berdosa ternyata menemui kebuntuan. Tidak ada seorangpun yang dapat melepaskan kita (sekalipun para utusan Allah) dari status dan kondisi kita ini. Lalu, adakah jalan keluarnya ? Puji Tuhan, Paulus di dalam ayat 6a menyatakan bahwa bagi kita yang masih lemah dan durhaka ini, Kristus telah mati untuk kita. Kematian Kristus menunjukkan bahwa ada pengharapan dan jalan keluar dari masalah yang kita hadapi yaitu status dan kondisi kita yang berdosa. Selain pengharapan, kematian Kristus juga harus menjadi teladan bagi kita yang harus terus-menerus mematikan dosa di dalam diri kita. Di dalam Efesus 4:17-32, Paulus dengan gamblang memaparkan bahwa kita sebagai manusia baru harus hidup lebih memuliakan Allah daripada ketika kita masih seteru Allah (manusia lama). Rasul Yohanes juga mengingatkan kita, “Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah.” (1 Yohanes 3:9) Dengan kata lain, “mematikan dosa” sama dengan menyangkal diri. Menyangkal diri tidak berarti kita tidak boleh memiliki keinginan sama sekali. Inilah kekeliruan terbesar dan terkonyol di dalam agama dari Timur yang mengajarkan bertarak diri (askese). Kalau kita tidak boleh memiliki keinginan, berarti kita pun tidak boleh mengingini untuk masuk nirwana (menurut agama itu). Itu logika yang tepat, tetapi herannya sambil mengajarkan bahwa kita tidak boleh memiliki keinginan, agama ini juga mengajarkan bahwa setiap orang bisa menjadi “allah”. Sungguh suatu logika yang tidak masuk akal. Kembali, menyangkal diri berarti kita berani mengatakan “tidak” kepada setiap keinginan kita yang negatif (dan beberapa keinginan positif) untuk disesuaikan dengan kehendak dan kedaulatan Allah. Di dalam proses menyangkal diri, baiklah kita terus-menerus dipimpin dan disucikan oleh Roh Kudus.
Kedua, penderitaan Kristus ditentukan oleh Allah. Kalau kita kembali pada ayat 6, pada enam kalimat terakhir, Alkitab LAI menyebutkan, “pada waktu yang ditentukan oleh Allah.” Kalimat ini tidak dapat kita jumpai pada KJV yang hanya menyebut “in due time”. ISV juga hanya menyebutkan, “at just the right time” English Standard Version menyebutkan hal yang sama, “at the right time” Di sini, LAI menambahkan kata “Allah” menunjukkan bahwa kematian Kristus bukan ditentukan oleh manusia atau Kristus dapat disalib gara-gara Yudas menjual-Nya (seolah-olah tanpa Yudas, Kristus tak mungkin disalib atau Allah Bapa “bingung” memilih sarana lain untuk membuat Kristus disalib). Hal tersebut tidak pernah ada dalam “kamus” Alkitab/Allah, karena Allah kita adalah Allah yang sejati yang berdaulat yang merencanakan segala sesuatu dan kita mempercayai bahwa rencana-Nya pasti berhasil karena Ia adalah Allah yang layak dipercaya (trust-worthy God). Kalau kita mempercayai kepada “Allah” yang “plin-plan”, jujur, itu bukan Allah yang diajarkan dan diberitakan oleh Alkitab, tetapi diajarkan oleh para penganut postmodernisme, open theism, pluralisme, dan sejenisnya yang pura-pura memakai plang “Kristen”! Kembali, ketika kita mengerti bahwa penderitaan Kristus ditentukan oleh Allah, kita dapat belajar beberapa prinsip, yaitu pertama, penderitaan Kristus menjadi pengharapan bahwa bukan karena kita yang minta diselamatkan baru Allah menyelamatkan, tetapi Allah yang merencanakan keselamatan, Dia jugalah yang menggenapinya di dalam Pribadi Kristus. Kedua, penderitaan Kristus menjadi teladan bagi kita yang harus menyangkal diri bahwa penderitaan yang kita alami itu juga atas kehendak Allah/diizinkan Allah untuk menguji iman kita di dalam mengikut-Nya. Rasul Petrus di dalam 1 Petrus 4:14 mengajarkan, “Berbahagialah kamu, jika kamu dinista karena nama Kristus, sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah ada padamu.” Kata “berbahagialah” di dalam ayat ini sama dengan kata “berbahagia” yang diucapkan oleh Tuhan Yesus di dalam Matius 5:3-11 (khususnya ayat 10) yang dalam bahasa Yunaninya makarios bisa berarti “diberkatilah” (blessed). Khususnya di Indonesia, kita membaca banyak berita bahwa banyak gereja dibakar, izin pembangunan gereja dipersulit dengan berjuta alasan yang tidak masuk akal (tetapi kalau membangun tempat ibadah agama mayoritas dipermudah, bahkan banyak yang tidak pakai IMB/Izin Mendirikan Bangunan), dll. Itu semua adalah bentuk penderitaan yang harus ditanggung ketika kita berkomitmen menjadi pengikut Kristus sejati. Menjadi orang “Kristen” kampungan dan murahan (pseudo-Christians) itu mudah, karena tidak usah memikul salib (kalau perlu meng“amin”i apa yang dicetuskan oleh para penganut “theologi” kemakmuran bahwa orang “Kristen” adalah anak “raja” yang pasti kaya, sukses, diberkati, sembuh, bahkan tidak pernah digigit nyamuk), tetapi kalau kita sungguh-sungguh mau mengikut Kristus (the true Christians), kita harus rela menanggung aniaya karena seperti Kristus yang telah difitnah, dianiaya, dll, kita pun sebagai pengikut sekaligus murid-Nya pun harus mengalami hal yang sama, selain itu karena kita harus menTuhankan Kristus bukan men”Tuhan”kan penguasa, dan hal-hal palsu lainnya.
Ketiga, penderitaan Kristus ditujukan untuk menggantikan kita yang masih berdosa ą substitusi (ayat 7-8). Poin ketiga ini kelihatannya sama dengan poin pertama, tetapi pada poin ini saya menitikberatkan pada kematian Kristus yang menggantikan (substitusi). Substitusi Kristus yang ditunjukkan oleh Paulus ini jauh melampaui apa yang manusia kerjakan. Hal ini ditunjukkan Paulus dengan membedakan konsep substitusi di dalam pengorbanan Kristus dengan tindakan orang yang mau mati bagi orang yang baik. Tindakan pengorbanan Kristus adalah tindakan yang mulia dan dimotivasi oleh cinta yang tanpa bersyarat yang tak memerlukan balas jasa apapun dari siapapun juga (karena manusia yang olehnya Kristus mati tidak memiliki daya/jasa baik yang cukup syarat untuk membalas kasih Allah), sedangkan tindakan manusia berdosa adalah tindakan yang seolah-olah kelihatan “berkorban”, tetapi sebenarnya mau meminta balas jasa (karena orang ini mati bagi orang yang mati yang akan membalas jasanya). Paulus mengemukakan hal ini di ayat 7 dan 8 dengan 3 tingkat pembanding obyek substitusi, yaitu: orang baik, benar dan berdosa (mengutip pernyataan Pdt. Sutjipto Subeno). Pertama dan kedua, orang baik dan benar. Pada ayat 7, Paulus berkata, “Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar--tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati--.” Tingkat pertama, orang baik. “Orang yang baik” dalam terjemahan KJV (dan banyak terjemahan Inggris) adalah a good man. Beberapa tafsiran menghubungkan orang baik dengan kelakuannya yang baik, suka memberi (dermawan), penuh belas kasih, dll. Dari penjelasan Adam Clarke dalam tafsirannya Adam Clarke’s Commentary on the Bible, kita mendapatkan sedikit latar belakang tradisi Yudaisme bahwa orang-orang Yahudi membedakan empat macam orang, di mana orang macam ketiga dari empat macam orang tersebut disebut orang yang baik (a just man) yang mengatakan, “What is mine, is thine; and what is thine, let it be thine.” (milikku adalah milikmu, dan apa yang menjadi milikmu, biarlah itu tetap menjadi milikmu.) Pdt. Sutjipto Subeno mengatakan bahwa justru untuk orang baik inilah, banyak orang yang berani mati, mengapa? Karena mereka yang berani mati telah menerima sesuatu yang positif (bantuan) dari orang yang memberi. Ini tetap adalah konsep penebusan versi manusia berdosa, yaitu kalau saya sudah dapat sesuatu dari orang lain, maka saya baru dapat berkorban bagi orang tersebut. Tingkat kedua, yaitu orang benar. “Orang yang benar” dalam terjemahan KJV adalah a righteous man, dalam bahasa Yunaninya menggunakan kata dikaios yang bisa berarti adil benar. Lalu, siapakah orang adil/benar yang Paulus maksudkan ? Dari tafsiran Adam Clarke dalam Adam Clarke’s Commentary on the Bible, orang macam pertama dari empat macam orang tersebut (lihat di atas tentang sedikit penjelasan 4 macam orang) disebut orang yang adil (a just man) yang mengatakan, “what is mine, is my own; and what is thine, is thy own.” (=apa yang menjadi milikku adalah milikku ; dan apa yang menjadi milikmu, adalah milikmu.) Adam Clarke mengatakan, “These may be considered the just, who render to every man his due; or rather, they who neither give nor take.” (=Orang ini dapat disebut orang adil, yang memberikan kepada setiap orang haknya masing-masing; atau lebih baik, mereka tidak memberi atau mengambilnya.) Orang benar/adil ini sekilas lebih rendah kualitasnya dari orang baik (karena orang baik mau berkorban, sedangkan orang benar/adil menyibukkan urusan keadilan), tetapi yang diperhatikan di sini adalah konsep pengorbanan. Meskipun orang baik itu lebih tinggi dari orang benar/adil, tetapi berkorban bagi orang benar/adil justru lebih sulit daripada berkorban bagi orang baik. Mengapa? Karena orang yang berkorban bagi orang benar/adil adalah orang yang berkorban bukan karena ia telah mendapatkan sesuatu, tetapi ia menghargai orang benar/adil (meskipun tidak mendapatkan sesuatu). Misalnya, para pejuang hak asasi manusia (seperti Martin Luther King, Jr. di Amerika Serikat), kita yang di Indonesia tidak memperoleh manfaat apa-apa dari perjuangannya, tetapi kita mengerti perjuangannya dan mungkin kita bisa rela berkorban bagi orang ini. Tentang orang benar/adil ini, saya berani menyimpulkan bahwa a just man sebenarnya adalah orang yang merasa diri “benar” dan “layak”, tetapi sebenarnya tidak mampu. Mengapa saya berani mengambil kesimpulan demikian? Karena seperti yang diungkapkan Clarke, a just man menunjuk kepada orang yang selalu menuntut keadilan tetapi tidak mengerti sesuatu yang melampaui keadilan yaitu kasih yang tanpa syarat (unconditional love). Kasih dan keadilan tidak bisa dipisahkan, karena itu saling terkait. Bagi mereka yang seolah-olah merasa diri “benar”, Tuhan melalui Paulus berkata bahwa itu adalah hal yang sulit khususnya di dalam pengorbanan Kristus yang bersifat mengganti. Mengapa ? Karena a just man selalu merasa diri “layak”, “tak berdosa”, dll lalu kalaupun ia melakukan sesuatu yang salah/berdosa, maka ia dengan sombongnya akan berjuang sendiri untuk melepaskan/keluar dari jurang kesalahan/dosa. Terhadap orang inilah, Kristus sulit mau berkorban bagi/menggantikan posisi mereka. Tetapi meskipun sulit, Kristus rela melakukannya karena kematian-Nya membuktikan cinta kasih Allah kepada dunia yang jauh melampaui konsep keadilan manusia (Yohanes 3:16; Roma 5:8). Tingkat ketiga, orang yang telah berdosa. Kalau tingkat pertama dan kedua masih mampu dilakukan oleh manusia, yaitu berkorban bagi orang baik dan benar, maka tingkat ketiga ini tidak mungkin mampu dilakukan manusia berdosa, mengapa? Karena tingkat ketiga ini hanya mampu dilakukan oleh Allah sendiri. Di ayat 8, Allah melalui Paulus menyatakan, “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” Di dalam terjemahan LAI, kita kurang menemukan keunikan perbedaan waktu antara Kristus yang telah mati dan kita yang berdosa, tetapi di dalam struktur bahasa Yunani, kita dapat mengerti perbedaan waktu ini. Pernyataan “kita masih berdosa” menggunakan keterangan waktu Present (dapat diterjemahkan: ketika kita sedang berdosa). Sedangkan pernyataan “Kristus telah mati” menggunakan keterangan waktu Aorist yang berarti sesuatu yang sudah terjadi dan tidak terulang lagi—identik dengan keterangan waktu Past Perfect di dalam bahasa Inggris (dapat diterjemahkan: Kristus telah satu kali mati untuk selama-lamanya). Berarti, ketika kita sedang/masih berdosa, Kristus telah menebus dosa kita dan mati bagi kita. Ini menunjukkan bahwa kasih Allah tidak melihat/menunggu respon manusia (karena manusia yang masih berdosa tidak mungkin bisa merespon kasih Allah). Dengan kata lain, Arminianisme (pendiri: Jacobus Arminius) yang mengajarkan bahwa Allah memilih manusia setelah Ia melihat siapa manusia yang akan meresponi kebaikan-Nya, adalah salah dan tidak sesuai dengan Alkitab. Justru, Allah memilih manusia dan mengutus Kristus untuk menebus dosa manusia jauh sebelum manusia itu berdosa. Itulah kasih Allah yang jauh melampaui rasio manusia berdosa yang terbatas yang hanya mau mengasihi dan berkorban bagi orang-orang baik dan benar (dan tidak bagi orang-orang berdosa). Penderitaan Kristus ini menjadi pengharapan bagi kita yang berada di dalam penderitaan bahwa kita memiliki Kristus yang sudah menggantikan kita yang seharusnya berdosa. Apa yang Kristus telah kerjakan pada waktu kita masih berdosa justru menyadarkan kita bahwa sudah seharusnya kita tidak lagi arogan lalu berkata bahwa kita bisa menyelesaikan dosa kita sendiri. Itu adalah tindakan atheis yang menghina karya penebusan Allah. Kita sebagai umat pilihan-Nya yang telah ditebus harus terus-menerus bersyukur atas anugerah-Nya dan mengerjakan keselamatan kita (bukan supaya kita diselamatkan/tidak kehilangan keselamatan) sebagai respon kita telah ditebus dan diselamatkan untuk memuliakan Allah. Penderitaan Kristus juga dapat menjadi teladan bagi kita sehingga kita rela berkorban/mati bagi orang-orang yang kita kasihi (bahkan bagi orang-orang yang telah membenci kita dan sebaliknya) demi Injil. Penginjilan tanpa dimotivasi dan bertujuan untuk mengasihi jiwa-jiwa yang terhilang adalah penginjilan yang sia-sia. Sudahkah kita mengasihi jiwa-jiwa yang terhilang dan membawanya kepada Kristus ?
Keempat, penderitaan Kristus meredakan murka Allah ą propisiasi (ayat 9). Pada ayat 9, Tuhan melalui Paulus mengungkapkan, “Lebih-lebih, karena kita sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya, kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah.” Tentang propisiasi atau peredaan murka Allah, Paulus sudah menjelaskannya di dalam Roma 3:25, “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya…” (KJV, “Whom God hath set forth to be a propitiation through faith in his blood,…”) dan Yohanes menjelaskannya di dalam 1 Yohanes 4:10, “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” (KJV, “Herein is love, not that we loved God, but that he loved us, and sent his Son to be the propitiation for our sins.”). Semua kata “pendamaian” di dalam kedua bagian ayat ini seharusnya diterjemahkan “peredaan murka Allah”. Peredaan murka Allah yang Kristus kerjakan menjadi pengharapan bagi kita yang seharusnya mati dan dikenai murka Allah akibat dosa, tetapi puji Tuhan, penebusan Kristus di kayu salib sudah memenuhi syarat wujud keadilan dan kasih Allah bagi manusia berdosa. Penderitaan Kristus ini juga menjadi teladan bagi kita yang harus menderita karena nama Kristus supaya kita tetap memberitakan Injil sehingga banyak orang diselamatkan dari murka Allah yang menyala-nyala. Penderitaan kita karena nama Kristus seharusnya tidak memadamkan semangat kita dalam mengabarkan Injil, melainkan justru mengobarkan semangat kita bahwa orang-orang yang menganiaya kita harus diinjili agar mereka pada suatu saat atas kehendak-Nya dapat bertobat dan kembali kepada Kristus serta diselamatkan dari murka Allah yang dahsyat.
Kelima, penderitaan Kristus memperdamaikan kita dengan Allah ą rekonsiliasi (ayat 10). Selain substitusi dan propisiasi, penebusan Kristus juga mendamaikan kita yang dahulu adalah seteru/musuh Allah yang najis dan berdosa dengan Allah yang Mahakudus, seperti yang dipaparkan Paulus di ayat 10, “Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya!” Kata “diperdamaikan” dalam KJV adalah reconcile (=direkonsiliasikan/diperdamaikan). Kalau kita mengerti kata “musuh”, maka kita seharusnya mengerti bahwa itulah status kita ketika kita masih berdosa. Kalau di poin pertama, kita belajar tentang status dan kondisi kita yang jatuh ke dalam dosa yaitu durhaka/tidak berTuhan dan lemah/tidak berdaya, maka di poin ini, kita belajar tentang status kita dahulu yang “baru” yaitu musuh/seteru Allah. Kita disebut seteru Allah karena kita melawan ketetapan-Nya. Bagi seorang musuh, kita sudah seharusnya melawannya, hal yang sama juga dilakukan oleh Allah. Tetapi sekali lagi karena kasih-Nya begitu besar, maka beberapa orang dari antara musuh-Nya yang memberontak dipilih, dipanggil dan dibenarkan-Nya di dalam Kristus, sehingga mereka beroleh anugerah-Nya untuk beriman di dalam Kristus. Bagi orang-orang pilihan-Nya inilah, Kristus mati dan memperdamaikan mereka dengan Allah. Adalah tidak masuk akal jika ada orang-orang yang tidak dipilih-Nya berani mengklaim diri umat pilihan Allah lalu menyatakan diri dengan sombongnya bahwa Kristus juga mati untuknya. Itu adalah ajaran yang aneh dan tidak sesuai dengan Alkitab. Penderitaan Kristus ini menjadi pengharapan bagi umat pilihan-Nya yang berdosa yaitu kita yang dahulu berdosa sudah diperdamaikan dengan Allah yang Mahakudus melalui penebusan Kristus, sehingga kita diselamatkan oleh hidup Kristus dan kita tidak usah takut (dalam pengertian takut yang berlebihan) menghampiri Allah. Bukan berarti karena kita telah ditebus oleh Kristus, maka kita boleh sembarangan menghadap Allah, lalu seenaknya sendiri menggunakan hal-hal yang tidak bertanggungjawab di dalam ibadah. Itu namanya “anak-anak Allah” yang keterlaluan/kelewatan (Jawa: nglunjak). Meskipun kita sudah ditebus oleh Kristus, kita sebagai anak-anak-Nya tetap harus menghormati dan takut kepada-Nya, karena Ia tetap adalah Allah dan Tuhan kita (sedangkan kita adalah manusia yang terbatas), meskipun kita bisa/dapat tetap bersukacita ketika menghadap Allah. Inilah paradoks di dalam ibadah Kristen: takut dan gentar terhadap Allah sekaligus bersukacita. Penderitaan Kristus juga menjadi teladan bagi kita yaitu perdamaian antara manusia dengan Allah di dalam Kristus adalah wujud perdamaian sejati meskipun kita menderita aniaya. Sering kali di dunia ini, ketika ada orang yang mengalami penderitaan, para pemuja “theologi” religionum/social “gospel” selalu melontarkan kalimat “damai”, “gencatan sejata”, “toleransi”, dll supaya tidak terjadi penderitaan dan penganiayaan. Apakah itu salah? Di satu sisi, benar, tetapi di sisi lain, inti masalahnya bukan sekadar penghentian tindakan penganiayaan/kekerasan/penderitaan, tetapi esensinya justru terletak pada pendamaian antara manusia dengan Allah di dalam Kristus. Kalau manusia tidak didamaikan kembali dengan Allah, maka manusia tak mungkin bisa berdamai dengan sesamanya, karena masalah manusia yang paling serius adalah dosa, dan bukan hanya sekadar ketidakseimbangan/ketidaktenteraman atau penderitaan/penganiayaan/dll.
Terakhir, penderitaan Kristus membuat kita berbangga di dalam-Nya (ayat 11). Di dalam ayat 11, Paulus mengungkapkan, “Dan bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu.” Kata “bermegah” bisa berarti bersukacita (joy/rejoice) atau berbangga (boast). Bukan hanya substitusi, propisiasi dan rekonsiliasi, penebusan dan penderitaan Kristus memberikan pengharapan kepada kita bahwa meskipun kita mengalami penganiayaan, Roh-Nya yang Kudus membuat kita terus-menerus bersukacita di dalam Allah. Mengapa kita bisa bersukacita meskipun penderitaan mengancam kita? Karena kita memiliki pengharapan yang kokoh di dalam Kristus yang telah mengalami dan menang mengalahkan segala pencobaan, sehingga Ia dinobatkan sebagai Imam Besar Agung (Ibrani 4:14-15). Selain itu, penderitaan Kristus yang mengakibatkan kita bersukacita di dalam-Nya juga menjadi teladan bagi kita untuk menyalurkan sukacita di dalam penderitaan ini baik dengan berbagi kepada sesama, khususnya yang paling utama yaitu memberitakan Injil. Sehingga ketika orang yang menganiaya kita tetap melihat kita bersukacita bahkan masih memberitakan Injil, orang tersebut atas kemurahan-Nya akan bertobat dan kembali kepada Kristus. Hal ini sudah dialami oleh Paulus yang tetap memberitakan Injil kepada kepala penjara di Filipi meskipun dipenjara dan mengalami penderitaan (Kisah Para Rasul 16:19-40). Maukah kita meneladani Paulus dengan menjadi saksi Kristus bahkan di dalam penderitaan sekalipun ?
Setelah kita merenungkan keenam prinsip penderitaan Kristus yang menjadi pengharapan sekaligus teladan bagi kita yang menderita, biarlah kita menjadikan penderitaan Kristus bukan sekedar teori/rutinitas ketika kita memperingati Jumat Agung, tetapi penderitaan Kristus menjadi titik pusat kehidupan keKristenan kita dalam menapaki setiap penderitaan yang harus ditanggung karena mengikut Kristus. Soli Deo Gloria. Amin.

KEKEJIAN BAGI TUHAN
oleh :
Pdt. Drs. Thomy J. Matakupan, S.Th., M.Div.
(Pendeta di Gereja Reformed Injili Indonesia—GRII Andhika, Surabaya; Sarjana Theologia—S.Th. dan Master of Divinity—M.Div. dari Sekolah Tinggi Theologia Reformed Injili Indonesia—STTRII, Jakarta)
Nats : Ulangan 18:9-14; Yohanes 8:44
Konteks Ulangan 18 ini merupakan peringatan keras Musa bagi bangsa Israel agar mereka berhati-hati ketika memasuki Tanah Perjanjian yaitu Kanaan sebagai warisan turun temurun. Sebab bangsa lain yang menetap di sana telah melakukan kekejian di mata Tuhan yaitu praktek kegelapan (Ulangan 18:9). Itulah alasan Tuhan Allah menghalau mereka dari hadapanNya. Peringatan ini ditujukan pada mereka yang percaya akan Allah Yahwe dalam konteks Musa dan juga pada orang Kristen jaman sekarang yang percaya akan Tuhan Yesus karena adanya kemungkinan mereka telah dipengaruhi oleh lingkungan sekitar hingga mulai mengalihkan pengharapan dan bergantung pada kekuatan lain yang justru melawan Tuhan. Padahal Alkitab dengan jelas melarang Kekristenan melakukan kekejian semacam itu karena hanya Tuhanlah satu-satunya sumber kekuatan bagi orang percaya. Ironisnya, justru banyak orang Kristen mempercayai dan melakukan praktek okultisme sebagai tradisi turun temurun, seperti memendam kepala babi di depan rumah sebagai penangkal angin jahat, tradisi adat Jawa dan sebagainya.
Istilah ‘okultisme’ berasal dari bahasa Latin ‘okultus’ yang mempunyai 4 arti yaitu: (1) di balik, (2) tersembunyi, (3) misterius, (4) gelap. Setan selalu bekerja dibalik hal tertentu secara tersembunyi dan misterius (sulit diterima dan dijelaskan oleh akal pikiran manusia) untuk mengelabui mereka yang tidak berpengertian secara tepat sehingga mereka terkecoh dan berpikir bahwa aliran tersebut diperoleh dari Tuhan. Sebagai contoh, orang Jawa memelihara dan memandikan keris pusaka dengan air bunga 7 macam; ilmu santet untuk memasukkan benda tajam ke dalam perut seseorang yang tidak disukai, dan sebagainya. Hal ini menjadi semakin serius saat ini karena setan mulai muncUlangan dengan berbagai macam kedok sehingga manusia memandangnya sebagai pemenuhan kebutuhan rohani yang tidak pernah dijumpai seperti halnya New Age Movement, white magic untuk penyembuhan dan lain-lain. Agar lebih meyakinkan lagi, mereka yang menganut isme tersebut bersedia melayani orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Padahal aliran itu berasal dari Setan yang muncul dengan penampilan sangat menarik. Bagi orang beragama, Setan akan tampil secara religius, misalnya dukun yang membawa Alkitab dan menggunakan doa yang biasanya dipakai oleh Kekristenan. Jika diperhatikan dengan cermat, dalam Ulangan 18 dapat dijumpai banyak kekejian yang masih terjadi hingga saat ini.
Pertama, Musa memperingatkan dalam Ulangan 18:10, “Di antaramu janganlah didapati seorangpun yang mempersembahkan anaknya laki-laki atau anaknya perempuan sebagai korban dalam api.” Jakarta pernah diributkan dengan peristiwa semacam ini. Seorang bayi telah dikorbankan demi penyempurnaan ilmu yang sedang dipelajari oleh orangtuanya. Peristiwa yang sama juga terjadi dalam sebuah keluarga kaya di mana anak gadisnya telah dijadikan sebagai korban perjanjian mereka dengan Setan di Gunung Kawi. Akibatnya, ia berubah menjadi seperti seekor anjing. Sikap dan tingkah lakunya mirip seperti anjing. Memang, Setan bersedia memberikan kekayaan pada keluarga tersebut namun ia meminta salah satu anak mereka sebagai imbalannya. Sebuah keluarga lain di Kalimantan juga mengikat perjanjian darah dengan Setan sehingga mereka tidak diperkenankan memiliki anak lebih dari satu. Sekalipun bukan manusia (seorang anak atau gadis) yang dikorbankan melainkan binatang sebagai penggantinya namun intinya tetap bagi Setan. Padahal dalam Yoh 8:44 Yesus telah memperingatkan, “Iblis adalah pendusta dan bapa segala dusta.” Maka Setan mengerti caranya membohongi orang Kristen maupun orang tak beragama.
Kedua, perihal tenung atau hipnotis yaitu cara mempengaruhi seseorang dengan menggunakan tongkat dan bandulan agar orang itu kehilangan kesadarannya dan bersedia melakukan segala perintah yang diberikan. Praktek ini sungguh tidak berkenan kepada Tuhan karena terjadi perampasan kepribadian.
Ketiga, perihal ramalan untuk mengetahui peristiwa yang akan terjadi atau peruntungan seseorang dengan membaca garis tangan atau horoskop. Setan telah menyusup ke astronomi (ilmu perbintangan) hingga terciptalah astrologi yang berprinsip bahwa alam makro mempengaruhi alam mikro. Ditinjau dari science, prinsip tersebut masih mengandung unsur kebenaran yaitu pergerakan bulan mempengaruhi pasang surut air laut. Tetapi Setan memakainya sebagai batu loncatan untuk membohongi manusia. Karena itu, yang menjadi latar belakang astrologi adalah pergerakan alam semesta mempengaruhi seluruh alam mikro termasuk nasib manusia. Maka dalam astrologi terdapat penggolongan manusia berdasarkan filsafat dan ciri tertentu. Yang menjadi masalah bukanlah hal percaya atau tidak, melainkan karena banyak orang Kristen ikut ambil bagian dan membaca ramalan semacam itu. Bagaimanapun, sesuatu yang dibaca akan melekat dalam pikiran pembaca. Padahal sesungguhnya hidup manusia berada di dalam tangan Tuhan sehingga tak perlu lagi mencari tahu masa depan karena pimpinan Tuhan selalu bersamanya. Sebenarnya, horoskop itu bisa cocok bagi semua orang karena kepandaian si penulis dan tidak ada sangkut pautnya dengan pribadi tertentu atau bersifat eksklusif subyektif.
Keempat, perihal penelaah untuk mengetahui sesuatu yang sudah terjadi. Sebagai contoh, pengalaman seseorang yang kehilangan gitar listrik. Untuk menemukannya, ia pergi ke seorang penelaah yang mampu melihat ke masa lalu dengan menggunakan baskom berisi air dan merica. Banyak orang termasuk orang Kristen mempercayai hal semacam itu padahal tindakan mereka itu dapat membangkitkan kecemburuan Tuhan yang terdalam.
Kelima, hal sihir yang mengandung unsur perubahan bentuk. Sebagai contoh, pengalaman seorang murid KTB. Sebelum bertobat ia pernah merubah sobekan kertas menjadi uang dan menggunakannya untuk membeli bensin. Tapi setelah ia pergi meninggalkan SPBU tersebut, uang hasil rekayasa sihirnya itu kembali ke wujud semula. Peristiwa serupa juga terjadi di Ambon. Seseorang belanja di sebuah supermarket dan membayarnya dengan dedaunan yang sudah diubah menjadi uang. Dan ketika kasir hendak menghitung pendapatannya, ia menemukan uang tersebut sudah kembali ke wujud asalnya.
Keenam, mantra yaitu kalimat tertentu yang diucapkan sekian kali untuk tujuan tertentu pula, misalnya untuk penyembuhan, kekebalan, kekuatan dan sebagainya, dengan beberapa syarat yang mutlak harus ditaati.
Ketujuh, “seorang yang bertanya kepada arwah atau kepada roh peramal atau yang meminta petunjuk kepada orang-orang mati” (Ulangan 18:11). Dalam dunia okultisme, istilah yang dipakai yaitu spiritisme. Padahal Alkitab mengatakan bahwa orang mati tidak dapat berhubungan dengan dunia orang hidup, demikian juga sebaliknya. Tetapi ada kemungkinan bagi manusia untuk berkomunikasi dengan Setan melalui medium, misalnya jailangkung. Beberapa aliran tertentu dalam Kekristenan juga menganut praktek semacam ini, seakan-akan Tuhan Yesus hadir di dalam diri seseorang lalu berkhotbah. Ada pula orang Kristen yang mengunjungi makam keluarganya dan berbicara dengan orang mati untuk minta berkat. Padahal Tuhanlah sumber berkat. Bahkan ia juga membawakan makanan bagi orang mati tersebut.
Salah satu aplikasi spiritisme yaitu yoga yang mempunyai 4 tingkatan: (1)untuk mengatur aliran nafas, (2)untuk mengatur aliran darah, (3)untuk memadamkan api atau mencairkan es hanya dengan pandangan mata, (4)untuk dapat keluar dari tubuh jasmani ke dunia roh. Praktek yoga inipun sudah masuk ke Gereja.
Di jaman ini, Spiritisme mudah dijumpai di mana-mana. Setan digambarkan dengan penampilan yang sangat lucu seperti casper dan juga sebagai malaikat penolong yang menghalau Setan lain. Dengan demikian, Setan telah menjadi produk yang menguntungkan. Jika seseorang mengatakan bahwa Setan itu tidak ada, berarti upaya Setan untuk membuat kehadirannya tidak dimengerti oleh manusia telah berhasil.
Hingga saat ini, masih banyak orang dirasuk Setan dan biasanya ia bersedia keluar dari tubuh orang itu setelah keinginannya dipenuhi. Namun jika dilakukan maka tanpa disadari manusia telah melayani dan dilayani oleh Setan. Kalau orang Kristen tidak paham akan hal ini berarti ia tidak mengerti kuasa Allah dan Alkitab. Praktek kegelapan sebenarnya merupakan suatu konfrontasi karena tidak menggunakan kuasa nama Yesus. Padahal Setan akan sangat ketakutan ketika nama Tuhan Yesus disebutkan. Seorang ibu pernah dirasuk 10 Setan. Dua hari pertama, ia masih berlaku sewajarnya seorang ibu rumah tangga. Tapi ketika hendak dilayani oleh Pendeta, ia mulai gelisah dan ketika mendengar lagu pujian penyembahan kepada Allah, ia berteriak dan bermanifestasi dengan hebat.
Dengan berbagai macam cara, Setan berusaha menunjukkan bahwa ia adalah ahli yang ulung bahkan berani menantang manusia karena merasa berkekuatan lebih besar. Memang manusia lemah tapi Tuhan Yesus Kristus memiliki kekuatan lebih hebat daripada Setan. Oleh sebab itu semua orang Kristen yang sudah lahir baru sesungguhnya mempunyai kuasa dalam nama Yesus untuk mengusir Setan. Amin.

ORANG KRISTEN DAN PENDERITAAN
Eksposisi Mazmur 73
oleh: Ev. Antonius Steven Un, S.Kom., M.Div.
Hari-hari ini, banyak orang Kristen bukan saja di Indonesia tetapi juga di luar negeri mengalami kesulitan khususnya akibat bencana alam, terorisme dan krisis ekonomi. Pergumulan di negara Indonesia, banyak jemaat yang mengeluh dengan mahalnya harga komoditi akibat perubahan iklim sementara penghasilan tidak bertambah. Di tengah krisis demikian, pergumulan kita menjadi tidak gampang. Bagaimanakah seharusnya orang Kristen menghadapi pergumulan?
Di dalam Alkitab, ada tiga tokoh besar yang bergumul dengan penderitaan yakni Ayub, Pemazmur 73 dan Habakuk. Dalam ketiga orang ini, mempunyai kemiripan pergumulan sekalipun modelnya bervariasi tetapi yang pasti jawaban pergumulan, perubahan dan komitmennya sama. Inilah yang kita mau belajar, khususnya dari Mazmur 73.
Bagian pertama, dari pergumulan si Pemazmur, ia akhirnya menjadi berkat bagi orang lain. Inilah paling tidak satu dari sekian banyak maksud Tuhan dalam penderitaan supaya setelah kita mendapatkan jawaban, kita menguatkan orang lain. Dalam ayat 1, si Pemazmur mengatakan “sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya”. Di sini, menandakan bahwa ia telah selesai bergumul dan menang karena dalam penderitaan itu, ia tidak menghujat Allah dan mengatai Allah itu buruk atau jahat melainkan mengakui Allah itu baik. Selain Mazmur 73, memang inilah ciri khas seluruh kitab Mazmur. Sebagaimana dikatakan John Calvin, inilah kitab yang membuka anatomi jiwa, membuka anatomi perasaan manusia. Kitab yang sangat jujur.
Ada satu ciri khas yang diungkapkan oleh Martin Llyod-Jones yakni Mazmur seringkali dimulai oleh kesimpulan dari pergumulan. Seperti Mazmur 23, seluruh kredo pergumulan Daud disimpulkan, “Tuhan adalah gembalaku, tak akan kekurangan aku”. Demikian pula di sini, ia ingin memberikan kesimpulan kepada orang percaya yang membaca refleksinya, Allah itu baik, bagi mereka yang sungguh-sungguh mengikuti Tuhan.
Selain kesimpulan, ayat 1 juga merupakan undangan. Pemazmur seolah ingin berkata, “jika saudara adalah orang percaya yang sungguh bersih dan tulus hatimu, dan engkau menderita, Mazmur ini untuk saudara. Sebuah mazmur tentang kebaikan Allah. Sekalipun saudara menderita, Allah itu baik”.
Bagian kedua, dalam Mazmur ini kita belajar bahwa orang percaya pun bukan saja bisa bergumul tetapi bahkan penuh dengan pergumulan. Tidak usah kita heran akan hal ini, karena bukan rancangan kita melainkan rancangan Tuhan yang terjadi. Kadang kita berpikir bahwa seharusnya jalannya akan begini dan begitu tetapi Tuhan mempunyai cara pikir yang berbeda.
Bergumul bukan dosa. Tuhan Yesus sendiri bergumul, bahkan bergumul dalam pencobaan. Dicobai bukan dosa. Jatuh dalam pencobaan barulah dosa. Memakai terminologi Paulus, “habis akal” bukan dosa. Putus asa barulah sesuatu yang tidak benar (2 Kor. 4:8b). Jika saudara dalam bisnis, keluarga, pendidikan mengalami habis akal, itu bukan dosa. Jangan takut. Tetapi yang harus saudara lakukan adalah tetap berpengharapan, jangan putus asa.
Saya mencatat, sejumlah pergumulan si Pemazmur. Pertama, bergumul untuk mempertahankan hati yang bersih (ayat 13). Pergumulan ini tidak gampang karena di setiap detik dan setiap inci kehidupan, godaan untuk membengkokkan hati begitu banyak dan kuat, baik dari kedagingan dalam diri, dunia, setan, dan sebagainya. Kedua, bergumul untuk setia dalam kesulitan (ayat 14). Mempertahankan hati yang bersih satu hal tetapi mempertahankan hati yang bersih dalam penderitaan adalah hal lain. Jikalau kita mengatakan “orang ini setia tapi hidupnya susah” maka konotasinya negatif. Tetapi jika kita mengatakan, “orang ini hidupnya susah tetapi ia setia” maka konotasinya lebih positif. Dan kalimat pertamalah yang muncul ketika Lukas menggambarkan Zakaria dan Elizabeth, orang tua Yohanes Pembaptis. Mereka setia tetapi mandul, tidak punya anak. Dalam pergumulan demikian, seringkali ada perbandingan dari dalam diri dan dari orang lain antara setia dan sulit. Kedua kata itu seperti bertentangan, seperti air dan minyak, sulit bertemu.
Pergumulan Pemazmur ketiga, bergumul dengan kecemburuan ketika melihat orang faik yang maju (ayat 3). Susah untuk menerima bahwa mereka yang tidak setia, hidupnya lebih lancar. Ada beberapa gambaran obyektif yang dicatat oleh Pemazmur. Dalam ayat 4a dikatakan kesakitan tidak ada mereka. Dalam bahasa asli, adalah kesakitan maut. Maksudnya, si Pemazmur melihat bahwa ada orang jahat yang sampai matinya tidak mengalami penyakit. Mati tua bukan mati sakit atau mati celaka.
Dalam ayat 4b dikatakan sehat dan gemuk tubuh mereka. Tidak semua yang sehat dan gemuk itu fasik tetapi orang fasik biasanya sehat-sehat. Bagiamana kalau pencuri atau perampok tetapi menderita penyakit stroke. Sulit dinalar. Sebaliknya, banyak orang yang setia dalam Alkitab, hidup mereka sakit-sakitan seperti Paulus, Calvin, dan sebagainya. Dalam ayat 5a dikatakan mereka tidak mengalami kesusahan manusia. Kasarnya, semua orang mengalami harga tempe dan terigu yang melambung tinggi, mereka tidak mengalaminya.
Ayat 8b dikatakan bahwa hal pemerasan mereka bicarakan dengan tinggi hati. Maksudnya, sudah dosa masih dibanggakan lagi. Ayat 12b dikatakan “mereka menambah harta benda dan senang selamanya”. Barangkali inilah gambaran yang paling menyakitkan. Orang jahat, penipu, yang bisnisnya kotor, semakin hari harta bendanya bertambah-tambah dan senang seterusnya. Sebaliknya, orang yang setia, ikut Tuhan, beriman, bisnisnya jujur, hidup bersih, malah harta benda semakin berkurang karena uang habis, tabungan habis, emas dijual, mobil dijual ganti sepeda motor, rumah yang besar dijual ganti yang kecil. Malah susah seterusnya.
Pergumulan Pemazmur yang keempat, bergumul mengalami cercaan dari orang fasik (ayat 3a, 8a, 9). Setia itu sulit. Setia dalam kesulitan lebih sulit. Setia dalam kesulitan dengan kecemburuan, tambah sulit. Sekarang, malah harus dengar caci maki. “Katanya ikut Tuhan, kok hidup susah”, “katanya anak Raja, kok ngontrak”, “katanya Allahnya yang empunya alam semesta, kok rumah saja tidak punya” dan seterusnya yang sangat menyakitkan dari orang fasik.
Pergumulan yang paling sulit dari semuanya adalah di dalam penderitaan orang setia, si Pemazmur melihat Tuhan diam dan tidak memberikan jawaban. Setidaknya kalau ia tidak mengasihi orang percaya, paling tidak mengadili orang fasik. Malah yang terlihat adalah Tuhan mengasihi orang fasik dan menghukum orang percaya, menulahi yang hatinya bersih (ayat 14).
Bagian ketiga, setelah pergumulan ini kita sekarang melihat jawaban yang diterima Pemazmur. Langkah pertama menuju jawaban adalah si Pemazmur menguasai diri. Seperti yang dinyatakan dalam 1 Petrus 4:7, kuasailah diri, jadilah tenang supaya kamu dapat berdoa. Menguasai diri memang tidak menyelesaikan persoalan apapun tetapi setidaknya tidak menambah persoalan baru supaya tidak terjadi sudah jatuh, tertimpa tangga.
Menguasai diri berarti si Pemazmur tenang, tidak emosional dan sebaliknya berpikir. Istilah “seandainya” dalam ayat 15 menandakan bahwa si Pemazmur sedang berpikir. Prinsipnya, jangan ambil keputusan penting apapun pada waktu emosi. Jangan ambil keputusan putus pacar, pindah pekerjaan, pindah kota dan sebagainya sebab pada waktu emosi, sulit berpikir dengan tenang. Bagaimana mengatakan itu kehendak Allah jika tidak berpikir dengan akal sehat? Sebab kehendak Allah tidak pernah membuang akal sehat. Melampaui akal sehat ya. Tetapi, melampaui berarti sudah pakai akal sehat masih tidak cukup.
Selain itu, menguasai diri juga berarti, sebagaimana yang dilakukan Ayub, menjaga bibirnya agar tidak berdosa. Dalam ayat 15, si pemazmur sedang berpikir, jika ia mengucapkan kalimat kekecewaan maka ia akan mengkhianati angkatan anak-anak Tuhan. Lebih baik kita mendengar perkataan dari Yakobus, janganlah cepat bicara atau cepat marah tetapi cepat mendengar supaya setelah masalah selesai kita tidak menyesal karena pernah mengucapkan kalimat yang tidak enak (1:19).
Menguasai diri juga berarti menghitung konsekuensi. Ia sedang menghitung resiko-resiko kalau ia bicara demikian maka akan mengkhianati angkatan umat Tuhan. Pada waktu kita terjepit, kita diajar untuk menguasai diri sehingga menghitung resiko agar jangan salah melangkah. Bagaimana pun terjepit tetap harus menguasai diri untuk menghitung resiko.
Bahkan yang disebut menguasai diri adalah setidaknya sampai ayat 16, Si Pemazmur puas dengan kondisi menggantung, belum ada jawaban, tetapi ia tidak memaksakan diri untuk mengambil jawaban sendiri sesuai dengan keinginan sendiri. Sabar menanti jawaban Tuhan, itulah penguasaan diri orang percaya dalam pergumulan penderitaan yang berat.
Dalam ayat 17 dikatakan bahwa ia mendapatkan jawaban ketika masuk ke tempat kudus. Konteks waktu itu adalah bahwa firman Tuhan tidak didapatkan di rumah melainkan dengan berada di rumah ibadah. Ia masuk dan memperhatikan. Perhatikan istilah “memperhatikan” dalam ayat 17. memperhatikan kesudahan orang fasik berarti ia berkonsentrasi pada waktu mendengar firman. Banyak orang percaya, sayangnya, pada waktu mereka bergumul, mereka menjauhi firman baik menjauhi ibadah maupun saat teduh. Akhirnya mereka tidak mendapatkan jawaban dan kondisinya tambah buruk.
Memperhatikan firman Tuhan adalah jawaban mutlak dalam pergumulan penderitaan. Dalam Daniel 9, dikatakan ia memperhatikan firman Tuhan melalui Yeremia. Ayub dan Habakuk juga mendapatkan jawaban dari firman Tuhan. Jika bukan firman Tuhan, apalagi jawaban bagi pergumulan kita?
Si Pemazmur mendapatkan jawaban tentang kenikmatan orang fasik dan penderitaan orang percaya adalah ketika mendengar khotbah tentang penghakiman. Lucu yah. Bagaimana bisa orang lagi susah kok mendengar firman tentang neraka? Psikologi sekuler tidak bisa menerimanya. Matthew Arnold mengatakan, kalau memperhatikan kehidupan orang harus utuh. Jangan lihat enaknya sekarang tetapi lihatlah akhiratnya. Jadi, kesimpulan Pemazmur bahwa orang fasik senang selamanya, tidak sepenuhnya benar. Itu kesimpulan emosionalnya. Yang benar adalah bahwa memang mereka kelihatan senang sekarang tetapi nanti belum tentu. Kalau kita melihat kehidupan orang benar yang senang sekarang, jangan lupa melihat masa lalunya, mungkin banyak penderitaan. Kalau kita melihat kehidupan orang fasik yang senang sekarang, jangan lupa melihat masa depannya, mungkin banyak penderitaan.
Sampai di sini, kita mendapatkan pelajaran berharga. Yang disebut dengan jawaban pergumulan itu bukan perubahan keadaan. Nanti di ayat selanjutnya juga kita lihat bahwa keadaan si Pemazmur tidak dicatat berubah. Dari tiga orang besar yang bergumul dengan penderitaan, hanya Ayub yang dicatat mengalami perubahan keadaan. Tetapi itu terjadi setelah ia mendapatkan jawaban firman yang merubah hidupnya dan membangun komitmen baru. Pemazmur dan Habakuk tidak mendapatkan perubahan keadaan tetapi perubahan hidup melalui firman. Jadi, yang disebut jawaban pergumulan bukan perubahan keadaan tetapi perubahan hidup oleh firman yang diwujudkan dengan komitmen baru. Jangan bermimpi perubahan keadaan karena itu bukan jawaban Alkitab. Namun demikian, konsep ini tidak berarti kita tidak berusaha mencari jalan keluar. Itu hal lain yang tidak kita bicarakan di sini.
Bagian terakhir, akhir dari pergumulan itu, si Pemazmur membangun komitmen baru. Ada tiga komitmen di sini. Komitmen pertama, tetap dekat dengan Tuhan dalam penderitaan (ayat 23-24). Komitmen dalam keadaan sulit (ayat 21-22) bahkan ia merasa diri dungu dan seperti hewan. Dekat itulah baru ia mendapat kekuatan. Jika ia lari dari Tuhan, di manakah jawabannya? Banyak orang Kristen waktu susah malah menjauh dari Tuhan sehingga hidup mereka tambah parah. Jika saudara menjauh, sekarang kembalilah supaya Tuhan menjawab hidup saudara!
Dalam komitmen pertama itu kemudian kita melihat pertolongan Tuhan, persis seperti menolong orang yang pingsan. Dikatakan ”Engkau memegang tangan kananku”. Kalau Alkitab menyatakan bahwa Allah memegang kita dengan tangan kananNya itu berarti kekuatan (mis. Yes. 41:10). Kalau Alkitab mengatakan Allah memegang tangan kanan kita, itu berarti kenyamanan, supaya tidak jatuh tergeletak. Setelah itu, dituntun selangkah demi selangkah menuju ke tempat yang lebih baik secara kerohanian supaya ia tidak tergelincir (bdk. Ayat 2).
Komitmen yang kedua adalah tetap mengasihi Tuhan sekalipun dalam penderitaan (ayat 25-26). Kalau komitmen pertama adalah tetap dekat Tuhan sekalipun masih merasa tidak enak atau pusing maka yang kedua ini mulai menikmati dan mengasihi Tuhan. Komitmen ketiga adalah selama-lamanya berjalan bersama Allah. NIV menerjemahkan ”adalah baik bagi ku untuk dekat dengan Allah”. Selama-lamanya, entah susah atau senang, entah mendung, hujan atau cerah tetap berjalan bersama dengan Allah. Sehingga, komitmennya adalah kasih dari hati terdalam kepada Allah, tidak tergantung kondisi enak atau tidak.
Sampai di sini, si Pemazmur menang. Puji Tuhan. Ingin menang dalam penderitaan? Jangan jauhi Tuhan dan cintailah firman-Nya. Semoga!
Ev. Antonius Steven Un, S.Kom., M.Div. adalah gembala sidang Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Malang, Ketua Sekolah Theologia Reformed Injili Malang (STRIM) dan peneliti pada Reformed Center for Religion and Society. Beliau meraih gelar Master of Divinity (M.Div.) dari Institut Reformed, Jakarta.

"For I am not ashamed of the gospel of Christ: for it is the power of God unto salvation to every one that believeth; to the Jew first, and also to the Greek."
(Romans 1:16; King James Version)