Monday, April 14, 2008

PENDERITAAN YANG BERHARGA
(Precious Suffering)
oleh: Denny Teguh Sutandio
Nats: Roma 5:6-11
Dunia hari-hari ini, orang-orang non-Kristen mencoba menyodorkan suatu penemuan “ilmiah” yang diyakini akan “menghancurkan” iman Kristen. Dari novel (yang dianggap fakta oleh penulisnya, Dan Brown), Da Vinci Code, sampai “Injil” Thomas dan Barnabas, dunia postmodern yang berdosa ini mulai dipakai setan untuk merendahkan Kristus dan mengajar bahwa Kristus menikah dengan Maria Magdalena, Kristus tidak mati, tetapi Yudas yang mati, dll. Benarkah demikian? Siapakah Kristus sebenarnya? Apakah Dia benar-benar mati? Mengapa Ia harus mati? Seberapa signifikan dan agungnya kematian-Nya?
Menjelang Jumat Agung tahun 2008 ini, kita akan merenungkan satu perikop tentang teladan dan pengharapan penderitaan yang Kristus alami sebagai alasan mengapa penderitaan karena nama Kristus (yang harus kita alami) itu berharga. Ingatlah, setiap orang Kristen yang sungguh-sungguh mau mengikut Kristus harus menyangkal diri, memikul salib dan mengikut-Nya (Matius 16:24). Penderitaan adalah harga yang harus kita tanggung di dalam mengikut Kristus. Meskipun demikian, sebagai anak-anak-Nya, kita dijamin oleh-Nya bahwa di dalam penderitaan, penderitaan Kristus yang telah mengalahkan maut menjadi pengharapan masa depan yang indah yang akan menanti kita sekaligus teladan bagi penderitaan yang kita alami. Mari kita merenungkan kedua poin ini di dalam ayat 6-11. Di dalam keenam ayat ini, Paulus membagi enam prinsip penderitaan penebusan Kristus sebagai teladan dan pengharapan bagi kita yang menderita karena nama Kristus.
Pertama, penderitaan Kristus ditujukan untuk orang-orang berdosa (lemah dan durhaka). Di dalam ayat 6a, Paulus menguraikan, “Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka…” Di dalam bagian ini, Paulus langsung menunjukkan status dan kondisi kita yang berdosa. Pertama, kondisi lemah. “Karena waktu kita masih lemah” dalam Alkitab terjemahan King James mengartikannya, “For when we were yet without strength…” International Standard Version (ISV) menerjemahkannya powerless (=tidak ada kekuatan). Dengan kata lain, “lemah” berarti tanpa kekuatan (strengthless bisa diterjemahkan sick/sakit, impotent/tidak bertenaga, dll). Ini adalah kondisi kita ketika jatuh ke dalam dosa. Dosa mengakibatkan kita lemah, tak bertenaga apapun untuk berbuat sesuatu yang baik. Dengan kata lain, dosa mematikan keinginan kita untuk menyenangkan Allah. Mengapa ? Karena dosa adalah ketidaktaatan terhadap perintah-Nya atau menyelewengnya kita dari sasaran Allah. Paulus di dalam Roma 7:18 menuturkan, “Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik.” Paulus menuliskan hal ini di dalam perikop tentang perjuangan hukum Taurat dan dosa. Di dalam bagian ini, ia menjelaskan bahwa meskipun hukum Taurat itu baik bagi umat-Nya, tetapi ketika kita masih hidup di dalam dunia ini, dosa terus melekat di dalam kita sehingga ketika kita ingin berbuat sesuatu yang menyenangkan Allah, ternyata kita malahan mendukakan hati-Nya (Roma 7:19-20). Itulah kuasa dosa yang terus membuat kita mendukakan hati-Nya. Kedua, status orang durhaka. Paulus mencatat hal ini di dalam ayat 6a di atas dengan menggunakan terjemahan ungodly di dalam KJV yang dalam bahasa Yunaninya asebēs berarti irreverent, that is, (by extension) impious or wicked: - ungodly (man). (=tidak sopan, yaitu, (secara perluasan) tidak beriman/berTuhan atau jahat: orang yang tak berTuhan.) Dengan kata lain, ketika kita jatuh ke dalam dosa, status kita langsung disebut “tidak berTuhan” dan “jahat”. Itulah status yang kita layak tanggung akibat ketidaktaatan manusia pertama. Kalau secara kondisi, kita lemah dan tak berdaya dalam menghadapi dosa, maka secara status, kita lebih kejam lagi yaitu benar-benar menyetujui adanya dosa dan melawan Allah, sehingga disebut “tidak berTuhan”. Di sini, status kita melebihi kondisi kita. Bagaimana dengan realita dunia kita ? Dunia postmodern yang kita hidupi saat ini mulai membalikkan/meniadakan realita ini dengan mengajarkan bahwa di dalam diri kita ada kekuatan besar yang berdiam (giant power/force dwells in us). Ajaran ini dipengaruhi oleh Gerakan Zaman Baru dengan ide man is god (manusia adalah “allah”). Dan anehnya, ajaran gila ini rupanya telah merasuki dunia pendidikan (khususnya manajemen), psikologi, dan bahkan di dalam keKristenan. Alhasil, tidak heran, kita melihat seorang Tung Desem Waringin, Andrie Wongso, dll laris diundang bahkan di sebuah kampus “Kristen” swasta terkenal di Surabaya, bahkan dipopulerkan di dalam keKristenan (oleh beberapa dosen “Kristen) dan “gereja” melalui buku-buku Berpikir Positif dari Norman Vincent Peale, David Yonggi Cho, Robert H. Schuller, Zig Ziglar (buku terkenalnya : “Smile” dipakai sebagai bahan “renungan” oleh seorang dosen “Kristen” yang adalah istri “pendeta” emeritus GKI Pregolan Bunder, Surabaya di dalam setiap perkuliahannya di salah satu kampus “Kristen” terkenal di Surabaya), dll. Orang-orang Kristen terus-menerus diindoktrinasi bahwa mereka itu hebat, pintar, mampu, bijaksana, dll dan mulai disimpangkan/diselewengkan dari berita Alkitab bahwa manusia itu berdosa. Itu adalah tipu daya setan yang mulai meracuni keKristenan, tetapi sayangnya banyak orang “Kristen” masih tertidur oleh bujuk rayu si setan dan tidak mau kembali kepada Alkitab. Sudah saatnya, para kaum pilihan-Nya sadar dari tipu daya si setan, bertobat dan kembali kepada Alkitab sebagai satu-satunya kebenaran mutlak. Alkitab mengajarkan bahwa kita berdosa, dan itu harus kita amini dan sadari. Kesadaran tentang dosa adalah titik awal nantinya kita bisa bertobat. Ketika kita tidak menyadari dosa ini, kita tidak mengerti untuk apa kita bertobat dan lebih parah kita tidak mengerti untuk apa Kristus mau mati bagi dosa-dosa kita. Kembali, semua status dan kondisi kita yang berdosa ternyata menemui kebuntuan. Tidak ada seorangpun yang dapat melepaskan kita (sekalipun para utusan Allah) dari status dan kondisi kita ini. Lalu, adakah jalan keluarnya ? Puji Tuhan, Paulus di dalam ayat 6a menyatakan bahwa bagi kita yang masih lemah dan durhaka ini, Kristus telah mati untuk kita. Kematian Kristus menunjukkan bahwa ada pengharapan dan jalan keluar dari masalah yang kita hadapi yaitu status dan kondisi kita yang berdosa. Selain pengharapan, kematian Kristus juga harus menjadi teladan bagi kita yang harus terus-menerus mematikan dosa di dalam diri kita. Di dalam Efesus 4:17-32, Paulus dengan gamblang memaparkan bahwa kita sebagai manusia baru harus hidup lebih memuliakan Allah daripada ketika kita masih seteru Allah (manusia lama). Rasul Yohanes juga mengingatkan kita, “Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah.” (1 Yohanes 3:9) Dengan kata lain, “mematikan dosa” sama dengan menyangkal diri. Menyangkal diri tidak berarti kita tidak boleh memiliki keinginan sama sekali. Inilah kekeliruan terbesar dan terkonyol di dalam agama dari Timur yang mengajarkan bertarak diri (askese). Kalau kita tidak boleh memiliki keinginan, berarti kita pun tidak boleh mengingini untuk masuk nirwana (menurut agama itu). Itu logika yang tepat, tetapi herannya sambil mengajarkan bahwa kita tidak boleh memiliki keinginan, agama ini juga mengajarkan bahwa setiap orang bisa menjadi “allah”. Sungguh suatu logika yang tidak masuk akal. Kembali, menyangkal diri berarti kita berani mengatakan “tidak” kepada setiap keinginan kita yang negatif (dan beberapa keinginan positif) untuk disesuaikan dengan kehendak dan kedaulatan Allah. Di dalam proses menyangkal diri, baiklah kita terus-menerus dipimpin dan disucikan oleh Roh Kudus.
Kedua, penderitaan Kristus ditentukan oleh Allah. Kalau kita kembali pada ayat 6, pada enam kalimat terakhir, Alkitab LAI menyebutkan, “pada waktu yang ditentukan oleh Allah.” Kalimat ini tidak dapat kita jumpai pada KJV yang hanya menyebut “in due time”. ISV juga hanya menyebutkan, “at just the right time” English Standard Version menyebutkan hal yang sama, “at the right time” Di sini, LAI menambahkan kata “Allah” menunjukkan bahwa kematian Kristus bukan ditentukan oleh manusia atau Kristus dapat disalib gara-gara Yudas menjual-Nya (seolah-olah tanpa Yudas, Kristus tak mungkin disalib atau Allah Bapa “bingung” memilih sarana lain untuk membuat Kristus disalib). Hal tersebut tidak pernah ada dalam “kamus” Alkitab/Allah, karena Allah kita adalah Allah yang sejati yang berdaulat yang merencanakan segala sesuatu dan kita mempercayai bahwa rencana-Nya pasti berhasil karena Ia adalah Allah yang layak dipercaya (trust-worthy God). Kalau kita mempercayai kepada “Allah” yang “plin-plan”, jujur, itu bukan Allah yang diajarkan dan diberitakan oleh Alkitab, tetapi diajarkan oleh para penganut postmodernisme, open theism, pluralisme, dan sejenisnya yang pura-pura memakai plang “Kristen”! Kembali, ketika kita mengerti bahwa penderitaan Kristus ditentukan oleh Allah, kita dapat belajar beberapa prinsip, yaitu pertama, penderitaan Kristus menjadi pengharapan bahwa bukan karena kita yang minta diselamatkan baru Allah menyelamatkan, tetapi Allah yang merencanakan keselamatan, Dia jugalah yang menggenapinya di dalam Pribadi Kristus. Kedua, penderitaan Kristus menjadi teladan bagi kita yang harus menyangkal diri bahwa penderitaan yang kita alami itu juga atas kehendak Allah/diizinkan Allah untuk menguji iman kita di dalam mengikut-Nya. Rasul Petrus di dalam 1 Petrus 4:14 mengajarkan, “Berbahagialah kamu, jika kamu dinista karena nama Kristus, sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah ada padamu.” Kata “berbahagialah” di dalam ayat ini sama dengan kata “berbahagia” yang diucapkan oleh Tuhan Yesus di dalam Matius 5:3-11 (khususnya ayat 10) yang dalam bahasa Yunaninya makarios bisa berarti “diberkatilah” (blessed). Khususnya di Indonesia, kita membaca banyak berita bahwa banyak gereja dibakar, izin pembangunan gereja dipersulit dengan berjuta alasan yang tidak masuk akal (tetapi kalau membangun tempat ibadah agama mayoritas dipermudah, bahkan banyak yang tidak pakai IMB/Izin Mendirikan Bangunan), dll. Itu semua adalah bentuk penderitaan yang harus ditanggung ketika kita berkomitmen menjadi pengikut Kristus sejati. Menjadi orang “Kristen” kampungan dan murahan (pseudo-Christians) itu mudah, karena tidak usah memikul salib (kalau perlu meng“amin”i apa yang dicetuskan oleh para penganut “theologi” kemakmuran bahwa orang “Kristen” adalah anak “raja” yang pasti kaya, sukses, diberkati, sembuh, bahkan tidak pernah digigit nyamuk), tetapi kalau kita sungguh-sungguh mau mengikut Kristus (the true Christians), kita harus rela menanggung aniaya karena seperti Kristus yang telah difitnah, dianiaya, dll, kita pun sebagai pengikut sekaligus murid-Nya pun harus mengalami hal yang sama, selain itu karena kita harus menTuhankan Kristus bukan men”Tuhan”kan penguasa, dan hal-hal palsu lainnya.
Ketiga, penderitaan Kristus ditujukan untuk menggantikan kita yang masih berdosa ą substitusi (ayat 7-8). Poin ketiga ini kelihatannya sama dengan poin pertama, tetapi pada poin ini saya menitikberatkan pada kematian Kristus yang menggantikan (substitusi). Substitusi Kristus yang ditunjukkan oleh Paulus ini jauh melampaui apa yang manusia kerjakan. Hal ini ditunjukkan Paulus dengan membedakan konsep substitusi di dalam pengorbanan Kristus dengan tindakan orang yang mau mati bagi orang yang baik. Tindakan pengorbanan Kristus adalah tindakan yang mulia dan dimotivasi oleh cinta yang tanpa bersyarat yang tak memerlukan balas jasa apapun dari siapapun juga (karena manusia yang olehnya Kristus mati tidak memiliki daya/jasa baik yang cukup syarat untuk membalas kasih Allah), sedangkan tindakan manusia berdosa adalah tindakan yang seolah-olah kelihatan “berkorban”, tetapi sebenarnya mau meminta balas jasa (karena orang ini mati bagi orang yang mati yang akan membalas jasanya). Paulus mengemukakan hal ini di ayat 7 dan 8 dengan 3 tingkat pembanding obyek substitusi, yaitu: orang baik, benar dan berdosa (mengutip pernyataan Pdt. Sutjipto Subeno). Pertama dan kedua, orang baik dan benar. Pada ayat 7, Paulus berkata, “Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar--tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati--.” Tingkat pertama, orang baik. “Orang yang baik” dalam terjemahan KJV (dan banyak terjemahan Inggris) adalah a good man. Beberapa tafsiran menghubungkan orang baik dengan kelakuannya yang baik, suka memberi (dermawan), penuh belas kasih, dll. Dari penjelasan Adam Clarke dalam tafsirannya Adam Clarke’s Commentary on the Bible, kita mendapatkan sedikit latar belakang tradisi Yudaisme bahwa orang-orang Yahudi membedakan empat macam orang, di mana orang macam ketiga dari empat macam orang tersebut disebut orang yang baik (a just man) yang mengatakan, “What is mine, is thine; and what is thine, let it be thine.” (milikku adalah milikmu, dan apa yang menjadi milikmu, biarlah itu tetap menjadi milikmu.) Pdt. Sutjipto Subeno mengatakan bahwa justru untuk orang baik inilah, banyak orang yang berani mati, mengapa? Karena mereka yang berani mati telah menerima sesuatu yang positif (bantuan) dari orang yang memberi. Ini tetap adalah konsep penebusan versi manusia berdosa, yaitu kalau saya sudah dapat sesuatu dari orang lain, maka saya baru dapat berkorban bagi orang tersebut. Tingkat kedua, yaitu orang benar. “Orang yang benar” dalam terjemahan KJV adalah a righteous man, dalam bahasa Yunaninya menggunakan kata dikaios yang bisa berarti adil benar. Lalu, siapakah orang adil/benar yang Paulus maksudkan ? Dari tafsiran Adam Clarke dalam Adam Clarke’s Commentary on the Bible, orang macam pertama dari empat macam orang tersebut (lihat di atas tentang sedikit penjelasan 4 macam orang) disebut orang yang adil (a just man) yang mengatakan, “what is mine, is my own; and what is thine, is thy own.” (=apa yang menjadi milikku adalah milikku ; dan apa yang menjadi milikmu, adalah milikmu.) Adam Clarke mengatakan, “These may be considered the just, who render to every man his due; or rather, they who neither give nor take.” (=Orang ini dapat disebut orang adil, yang memberikan kepada setiap orang haknya masing-masing; atau lebih baik, mereka tidak memberi atau mengambilnya.) Orang benar/adil ini sekilas lebih rendah kualitasnya dari orang baik (karena orang baik mau berkorban, sedangkan orang benar/adil menyibukkan urusan keadilan), tetapi yang diperhatikan di sini adalah konsep pengorbanan. Meskipun orang baik itu lebih tinggi dari orang benar/adil, tetapi berkorban bagi orang benar/adil justru lebih sulit daripada berkorban bagi orang baik. Mengapa? Karena orang yang berkorban bagi orang benar/adil adalah orang yang berkorban bukan karena ia telah mendapatkan sesuatu, tetapi ia menghargai orang benar/adil (meskipun tidak mendapatkan sesuatu). Misalnya, para pejuang hak asasi manusia (seperti Martin Luther King, Jr. di Amerika Serikat), kita yang di Indonesia tidak memperoleh manfaat apa-apa dari perjuangannya, tetapi kita mengerti perjuangannya dan mungkin kita bisa rela berkorban bagi orang ini. Tentang orang benar/adil ini, saya berani menyimpulkan bahwa a just man sebenarnya adalah orang yang merasa diri “benar” dan “layak”, tetapi sebenarnya tidak mampu. Mengapa saya berani mengambil kesimpulan demikian? Karena seperti yang diungkapkan Clarke, a just man menunjuk kepada orang yang selalu menuntut keadilan tetapi tidak mengerti sesuatu yang melampaui keadilan yaitu kasih yang tanpa syarat (unconditional love). Kasih dan keadilan tidak bisa dipisahkan, karena itu saling terkait. Bagi mereka yang seolah-olah merasa diri “benar”, Tuhan melalui Paulus berkata bahwa itu adalah hal yang sulit khususnya di dalam pengorbanan Kristus yang bersifat mengganti. Mengapa ? Karena a just man selalu merasa diri “layak”, “tak berdosa”, dll lalu kalaupun ia melakukan sesuatu yang salah/berdosa, maka ia dengan sombongnya akan berjuang sendiri untuk melepaskan/keluar dari jurang kesalahan/dosa. Terhadap orang inilah, Kristus sulit mau berkorban bagi/menggantikan posisi mereka. Tetapi meskipun sulit, Kristus rela melakukannya karena kematian-Nya membuktikan cinta kasih Allah kepada dunia yang jauh melampaui konsep keadilan manusia (Yohanes 3:16; Roma 5:8). Tingkat ketiga, orang yang telah berdosa. Kalau tingkat pertama dan kedua masih mampu dilakukan oleh manusia, yaitu berkorban bagi orang baik dan benar, maka tingkat ketiga ini tidak mungkin mampu dilakukan manusia berdosa, mengapa? Karena tingkat ketiga ini hanya mampu dilakukan oleh Allah sendiri. Di ayat 8, Allah melalui Paulus menyatakan, “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” Di dalam terjemahan LAI, kita kurang menemukan keunikan perbedaan waktu antara Kristus yang telah mati dan kita yang berdosa, tetapi di dalam struktur bahasa Yunani, kita dapat mengerti perbedaan waktu ini. Pernyataan “kita masih berdosa” menggunakan keterangan waktu Present (dapat diterjemahkan: ketika kita sedang berdosa). Sedangkan pernyataan “Kristus telah mati” menggunakan keterangan waktu Aorist yang berarti sesuatu yang sudah terjadi dan tidak terulang lagi—identik dengan keterangan waktu Past Perfect di dalam bahasa Inggris (dapat diterjemahkan: Kristus telah satu kali mati untuk selama-lamanya). Berarti, ketika kita sedang/masih berdosa, Kristus telah menebus dosa kita dan mati bagi kita. Ini menunjukkan bahwa kasih Allah tidak melihat/menunggu respon manusia (karena manusia yang masih berdosa tidak mungkin bisa merespon kasih Allah). Dengan kata lain, Arminianisme (pendiri: Jacobus Arminius) yang mengajarkan bahwa Allah memilih manusia setelah Ia melihat siapa manusia yang akan meresponi kebaikan-Nya, adalah salah dan tidak sesuai dengan Alkitab. Justru, Allah memilih manusia dan mengutus Kristus untuk menebus dosa manusia jauh sebelum manusia itu berdosa. Itulah kasih Allah yang jauh melampaui rasio manusia berdosa yang terbatas yang hanya mau mengasihi dan berkorban bagi orang-orang baik dan benar (dan tidak bagi orang-orang berdosa). Penderitaan Kristus ini menjadi pengharapan bagi kita yang berada di dalam penderitaan bahwa kita memiliki Kristus yang sudah menggantikan kita yang seharusnya berdosa. Apa yang Kristus telah kerjakan pada waktu kita masih berdosa justru menyadarkan kita bahwa sudah seharusnya kita tidak lagi arogan lalu berkata bahwa kita bisa menyelesaikan dosa kita sendiri. Itu adalah tindakan atheis yang menghina karya penebusan Allah. Kita sebagai umat pilihan-Nya yang telah ditebus harus terus-menerus bersyukur atas anugerah-Nya dan mengerjakan keselamatan kita (bukan supaya kita diselamatkan/tidak kehilangan keselamatan) sebagai respon kita telah ditebus dan diselamatkan untuk memuliakan Allah. Penderitaan Kristus juga dapat menjadi teladan bagi kita sehingga kita rela berkorban/mati bagi orang-orang yang kita kasihi (bahkan bagi orang-orang yang telah membenci kita dan sebaliknya) demi Injil. Penginjilan tanpa dimotivasi dan bertujuan untuk mengasihi jiwa-jiwa yang terhilang adalah penginjilan yang sia-sia. Sudahkah kita mengasihi jiwa-jiwa yang terhilang dan membawanya kepada Kristus ?
Keempat, penderitaan Kristus meredakan murka Allah ą propisiasi (ayat 9). Pada ayat 9, Tuhan melalui Paulus mengungkapkan, “Lebih-lebih, karena kita sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya, kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah.” Tentang propisiasi atau peredaan murka Allah, Paulus sudah menjelaskannya di dalam Roma 3:25, “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya…” (KJV, “Whom God hath set forth to be a propitiation through faith in his blood,…”) dan Yohanes menjelaskannya di dalam 1 Yohanes 4:10, “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” (KJV, “Herein is love, not that we loved God, but that he loved us, and sent his Son to be the propitiation for our sins.”). Semua kata “pendamaian” di dalam kedua bagian ayat ini seharusnya diterjemahkan “peredaan murka Allah”. Peredaan murka Allah yang Kristus kerjakan menjadi pengharapan bagi kita yang seharusnya mati dan dikenai murka Allah akibat dosa, tetapi puji Tuhan, penebusan Kristus di kayu salib sudah memenuhi syarat wujud keadilan dan kasih Allah bagi manusia berdosa. Penderitaan Kristus ini juga menjadi teladan bagi kita yang harus menderita karena nama Kristus supaya kita tetap memberitakan Injil sehingga banyak orang diselamatkan dari murka Allah yang menyala-nyala. Penderitaan kita karena nama Kristus seharusnya tidak memadamkan semangat kita dalam mengabarkan Injil, melainkan justru mengobarkan semangat kita bahwa orang-orang yang menganiaya kita harus diinjili agar mereka pada suatu saat atas kehendak-Nya dapat bertobat dan kembali kepada Kristus serta diselamatkan dari murka Allah yang dahsyat.
Kelima, penderitaan Kristus memperdamaikan kita dengan Allah ą rekonsiliasi (ayat 10). Selain substitusi dan propisiasi, penebusan Kristus juga mendamaikan kita yang dahulu adalah seteru/musuh Allah yang najis dan berdosa dengan Allah yang Mahakudus, seperti yang dipaparkan Paulus di ayat 10, “Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya!” Kata “diperdamaikan” dalam KJV adalah reconcile (=direkonsiliasikan/diperdamaikan). Kalau kita mengerti kata “musuh”, maka kita seharusnya mengerti bahwa itulah status kita ketika kita masih berdosa. Kalau di poin pertama, kita belajar tentang status dan kondisi kita yang jatuh ke dalam dosa yaitu durhaka/tidak berTuhan dan lemah/tidak berdaya, maka di poin ini, kita belajar tentang status kita dahulu yang “baru” yaitu musuh/seteru Allah. Kita disebut seteru Allah karena kita melawan ketetapan-Nya. Bagi seorang musuh, kita sudah seharusnya melawannya, hal yang sama juga dilakukan oleh Allah. Tetapi sekali lagi karena kasih-Nya begitu besar, maka beberapa orang dari antara musuh-Nya yang memberontak dipilih, dipanggil dan dibenarkan-Nya di dalam Kristus, sehingga mereka beroleh anugerah-Nya untuk beriman di dalam Kristus. Bagi orang-orang pilihan-Nya inilah, Kristus mati dan memperdamaikan mereka dengan Allah. Adalah tidak masuk akal jika ada orang-orang yang tidak dipilih-Nya berani mengklaim diri umat pilihan Allah lalu menyatakan diri dengan sombongnya bahwa Kristus juga mati untuknya. Itu adalah ajaran yang aneh dan tidak sesuai dengan Alkitab. Penderitaan Kristus ini menjadi pengharapan bagi umat pilihan-Nya yang berdosa yaitu kita yang dahulu berdosa sudah diperdamaikan dengan Allah yang Mahakudus melalui penebusan Kristus, sehingga kita diselamatkan oleh hidup Kristus dan kita tidak usah takut (dalam pengertian takut yang berlebihan) menghampiri Allah. Bukan berarti karena kita telah ditebus oleh Kristus, maka kita boleh sembarangan menghadap Allah, lalu seenaknya sendiri menggunakan hal-hal yang tidak bertanggungjawab di dalam ibadah. Itu namanya “anak-anak Allah” yang keterlaluan/kelewatan (Jawa: nglunjak). Meskipun kita sudah ditebus oleh Kristus, kita sebagai anak-anak-Nya tetap harus menghormati dan takut kepada-Nya, karena Ia tetap adalah Allah dan Tuhan kita (sedangkan kita adalah manusia yang terbatas), meskipun kita bisa/dapat tetap bersukacita ketika menghadap Allah. Inilah paradoks di dalam ibadah Kristen: takut dan gentar terhadap Allah sekaligus bersukacita. Penderitaan Kristus juga menjadi teladan bagi kita yaitu perdamaian antara manusia dengan Allah di dalam Kristus adalah wujud perdamaian sejati meskipun kita menderita aniaya. Sering kali di dunia ini, ketika ada orang yang mengalami penderitaan, para pemuja “theologi” religionum/social “gospel” selalu melontarkan kalimat “damai”, “gencatan sejata”, “toleransi”, dll supaya tidak terjadi penderitaan dan penganiayaan. Apakah itu salah? Di satu sisi, benar, tetapi di sisi lain, inti masalahnya bukan sekadar penghentian tindakan penganiayaan/kekerasan/penderitaan, tetapi esensinya justru terletak pada pendamaian antara manusia dengan Allah di dalam Kristus. Kalau manusia tidak didamaikan kembali dengan Allah, maka manusia tak mungkin bisa berdamai dengan sesamanya, karena masalah manusia yang paling serius adalah dosa, dan bukan hanya sekadar ketidakseimbangan/ketidaktenteraman atau penderitaan/penganiayaan/dll.
Terakhir, penderitaan Kristus membuat kita berbangga di dalam-Nya (ayat 11). Di dalam ayat 11, Paulus mengungkapkan, “Dan bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu.” Kata “bermegah” bisa berarti bersukacita (joy/rejoice) atau berbangga (boast). Bukan hanya substitusi, propisiasi dan rekonsiliasi, penebusan dan penderitaan Kristus memberikan pengharapan kepada kita bahwa meskipun kita mengalami penganiayaan, Roh-Nya yang Kudus membuat kita terus-menerus bersukacita di dalam Allah. Mengapa kita bisa bersukacita meskipun penderitaan mengancam kita? Karena kita memiliki pengharapan yang kokoh di dalam Kristus yang telah mengalami dan menang mengalahkan segala pencobaan, sehingga Ia dinobatkan sebagai Imam Besar Agung (Ibrani 4:14-15). Selain itu, penderitaan Kristus yang mengakibatkan kita bersukacita di dalam-Nya juga menjadi teladan bagi kita untuk menyalurkan sukacita di dalam penderitaan ini baik dengan berbagi kepada sesama, khususnya yang paling utama yaitu memberitakan Injil. Sehingga ketika orang yang menganiaya kita tetap melihat kita bersukacita bahkan masih memberitakan Injil, orang tersebut atas kemurahan-Nya akan bertobat dan kembali kepada Kristus. Hal ini sudah dialami oleh Paulus yang tetap memberitakan Injil kepada kepala penjara di Filipi meskipun dipenjara dan mengalami penderitaan (Kisah Para Rasul 16:19-40). Maukah kita meneladani Paulus dengan menjadi saksi Kristus bahkan di dalam penderitaan sekalipun ?
Setelah kita merenungkan keenam prinsip penderitaan Kristus yang menjadi pengharapan sekaligus teladan bagi kita yang menderita, biarlah kita menjadikan penderitaan Kristus bukan sekedar teori/rutinitas ketika kita memperingati Jumat Agung, tetapi penderitaan Kristus menjadi titik pusat kehidupan keKristenan kita dalam menapaki setiap penderitaan yang harus ditanggung karena mengikut Kristus. Soli Deo Gloria. Amin.

KEKEJIAN BAGI TUHAN
oleh :
Pdt. Drs. Thomy J. Matakupan, S.Th., M.Div.
(Pendeta di Gereja Reformed Injili Indonesia—GRII Andhika, Surabaya; Sarjana Theologia—S.Th. dan Master of Divinity—M.Div. dari Sekolah Tinggi Theologia Reformed Injili Indonesia—STTRII, Jakarta)
Nats : Ulangan 18:9-14; Yohanes 8:44
Konteks Ulangan 18 ini merupakan peringatan keras Musa bagi bangsa Israel agar mereka berhati-hati ketika memasuki Tanah Perjanjian yaitu Kanaan sebagai warisan turun temurun. Sebab bangsa lain yang menetap di sana telah melakukan kekejian di mata Tuhan yaitu praktek kegelapan (Ulangan 18:9). Itulah alasan Tuhan Allah menghalau mereka dari hadapanNya. Peringatan ini ditujukan pada mereka yang percaya akan Allah Yahwe dalam konteks Musa dan juga pada orang Kristen jaman sekarang yang percaya akan Tuhan Yesus karena adanya kemungkinan mereka telah dipengaruhi oleh lingkungan sekitar hingga mulai mengalihkan pengharapan dan bergantung pada kekuatan lain yang justru melawan Tuhan. Padahal Alkitab dengan jelas melarang Kekristenan melakukan kekejian semacam itu karena hanya Tuhanlah satu-satunya sumber kekuatan bagi orang percaya. Ironisnya, justru banyak orang Kristen mempercayai dan melakukan praktek okultisme sebagai tradisi turun temurun, seperti memendam kepala babi di depan rumah sebagai penangkal angin jahat, tradisi adat Jawa dan sebagainya.
Istilah ‘okultisme’ berasal dari bahasa Latin ‘okultus’ yang mempunyai 4 arti yaitu: (1) di balik, (2) tersembunyi, (3) misterius, (4) gelap. Setan selalu bekerja dibalik hal tertentu secara tersembunyi dan misterius (sulit diterima dan dijelaskan oleh akal pikiran manusia) untuk mengelabui mereka yang tidak berpengertian secara tepat sehingga mereka terkecoh dan berpikir bahwa aliran tersebut diperoleh dari Tuhan. Sebagai contoh, orang Jawa memelihara dan memandikan keris pusaka dengan air bunga 7 macam; ilmu santet untuk memasukkan benda tajam ke dalam perut seseorang yang tidak disukai, dan sebagainya. Hal ini menjadi semakin serius saat ini karena setan mulai muncUlangan dengan berbagai macam kedok sehingga manusia memandangnya sebagai pemenuhan kebutuhan rohani yang tidak pernah dijumpai seperti halnya New Age Movement, white magic untuk penyembuhan dan lain-lain. Agar lebih meyakinkan lagi, mereka yang menganut isme tersebut bersedia melayani orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Padahal aliran itu berasal dari Setan yang muncul dengan penampilan sangat menarik. Bagi orang beragama, Setan akan tampil secara religius, misalnya dukun yang membawa Alkitab dan menggunakan doa yang biasanya dipakai oleh Kekristenan. Jika diperhatikan dengan cermat, dalam Ulangan 18 dapat dijumpai banyak kekejian yang masih terjadi hingga saat ini.
Pertama, Musa memperingatkan dalam Ulangan 18:10, “Di antaramu janganlah didapati seorangpun yang mempersembahkan anaknya laki-laki atau anaknya perempuan sebagai korban dalam api.” Jakarta pernah diributkan dengan peristiwa semacam ini. Seorang bayi telah dikorbankan demi penyempurnaan ilmu yang sedang dipelajari oleh orangtuanya. Peristiwa yang sama juga terjadi dalam sebuah keluarga kaya di mana anak gadisnya telah dijadikan sebagai korban perjanjian mereka dengan Setan di Gunung Kawi. Akibatnya, ia berubah menjadi seperti seekor anjing. Sikap dan tingkah lakunya mirip seperti anjing. Memang, Setan bersedia memberikan kekayaan pada keluarga tersebut namun ia meminta salah satu anak mereka sebagai imbalannya. Sebuah keluarga lain di Kalimantan juga mengikat perjanjian darah dengan Setan sehingga mereka tidak diperkenankan memiliki anak lebih dari satu. Sekalipun bukan manusia (seorang anak atau gadis) yang dikorbankan melainkan binatang sebagai penggantinya namun intinya tetap bagi Setan. Padahal dalam Yoh 8:44 Yesus telah memperingatkan, “Iblis adalah pendusta dan bapa segala dusta.” Maka Setan mengerti caranya membohongi orang Kristen maupun orang tak beragama.
Kedua, perihal tenung atau hipnotis yaitu cara mempengaruhi seseorang dengan menggunakan tongkat dan bandulan agar orang itu kehilangan kesadarannya dan bersedia melakukan segala perintah yang diberikan. Praktek ini sungguh tidak berkenan kepada Tuhan karena terjadi perampasan kepribadian.
Ketiga, perihal ramalan untuk mengetahui peristiwa yang akan terjadi atau peruntungan seseorang dengan membaca garis tangan atau horoskop. Setan telah menyusup ke astronomi (ilmu perbintangan) hingga terciptalah astrologi yang berprinsip bahwa alam makro mempengaruhi alam mikro. Ditinjau dari science, prinsip tersebut masih mengandung unsur kebenaran yaitu pergerakan bulan mempengaruhi pasang surut air laut. Tetapi Setan memakainya sebagai batu loncatan untuk membohongi manusia. Karena itu, yang menjadi latar belakang astrologi adalah pergerakan alam semesta mempengaruhi seluruh alam mikro termasuk nasib manusia. Maka dalam astrologi terdapat penggolongan manusia berdasarkan filsafat dan ciri tertentu. Yang menjadi masalah bukanlah hal percaya atau tidak, melainkan karena banyak orang Kristen ikut ambil bagian dan membaca ramalan semacam itu. Bagaimanapun, sesuatu yang dibaca akan melekat dalam pikiran pembaca. Padahal sesungguhnya hidup manusia berada di dalam tangan Tuhan sehingga tak perlu lagi mencari tahu masa depan karena pimpinan Tuhan selalu bersamanya. Sebenarnya, horoskop itu bisa cocok bagi semua orang karena kepandaian si penulis dan tidak ada sangkut pautnya dengan pribadi tertentu atau bersifat eksklusif subyektif.
Keempat, perihal penelaah untuk mengetahui sesuatu yang sudah terjadi. Sebagai contoh, pengalaman seseorang yang kehilangan gitar listrik. Untuk menemukannya, ia pergi ke seorang penelaah yang mampu melihat ke masa lalu dengan menggunakan baskom berisi air dan merica. Banyak orang termasuk orang Kristen mempercayai hal semacam itu padahal tindakan mereka itu dapat membangkitkan kecemburuan Tuhan yang terdalam.
Kelima, hal sihir yang mengandung unsur perubahan bentuk. Sebagai contoh, pengalaman seorang murid KTB. Sebelum bertobat ia pernah merubah sobekan kertas menjadi uang dan menggunakannya untuk membeli bensin. Tapi setelah ia pergi meninggalkan SPBU tersebut, uang hasil rekayasa sihirnya itu kembali ke wujud semula. Peristiwa serupa juga terjadi di Ambon. Seseorang belanja di sebuah supermarket dan membayarnya dengan dedaunan yang sudah diubah menjadi uang. Dan ketika kasir hendak menghitung pendapatannya, ia menemukan uang tersebut sudah kembali ke wujud asalnya.
Keenam, mantra yaitu kalimat tertentu yang diucapkan sekian kali untuk tujuan tertentu pula, misalnya untuk penyembuhan, kekebalan, kekuatan dan sebagainya, dengan beberapa syarat yang mutlak harus ditaati.
Ketujuh, “seorang yang bertanya kepada arwah atau kepada roh peramal atau yang meminta petunjuk kepada orang-orang mati” (Ulangan 18:11). Dalam dunia okultisme, istilah yang dipakai yaitu spiritisme. Padahal Alkitab mengatakan bahwa orang mati tidak dapat berhubungan dengan dunia orang hidup, demikian juga sebaliknya. Tetapi ada kemungkinan bagi manusia untuk berkomunikasi dengan Setan melalui medium, misalnya jailangkung. Beberapa aliran tertentu dalam Kekristenan juga menganut praktek semacam ini, seakan-akan Tuhan Yesus hadir di dalam diri seseorang lalu berkhotbah. Ada pula orang Kristen yang mengunjungi makam keluarganya dan berbicara dengan orang mati untuk minta berkat. Padahal Tuhanlah sumber berkat. Bahkan ia juga membawakan makanan bagi orang mati tersebut.
Salah satu aplikasi spiritisme yaitu yoga yang mempunyai 4 tingkatan: (1)untuk mengatur aliran nafas, (2)untuk mengatur aliran darah, (3)untuk memadamkan api atau mencairkan es hanya dengan pandangan mata, (4)untuk dapat keluar dari tubuh jasmani ke dunia roh. Praktek yoga inipun sudah masuk ke Gereja.
Di jaman ini, Spiritisme mudah dijumpai di mana-mana. Setan digambarkan dengan penampilan yang sangat lucu seperti casper dan juga sebagai malaikat penolong yang menghalau Setan lain. Dengan demikian, Setan telah menjadi produk yang menguntungkan. Jika seseorang mengatakan bahwa Setan itu tidak ada, berarti upaya Setan untuk membuat kehadirannya tidak dimengerti oleh manusia telah berhasil.
Hingga saat ini, masih banyak orang dirasuk Setan dan biasanya ia bersedia keluar dari tubuh orang itu setelah keinginannya dipenuhi. Namun jika dilakukan maka tanpa disadari manusia telah melayani dan dilayani oleh Setan. Kalau orang Kristen tidak paham akan hal ini berarti ia tidak mengerti kuasa Allah dan Alkitab. Praktek kegelapan sebenarnya merupakan suatu konfrontasi karena tidak menggunakan kuasa nama Yesus. Padahal Setan akan sangat ketakutan ketika nama Tuhan Yesus disebutkan. Seorang ibu pernah dirasuk 10 Setan. Dua hari pertama, ia masih berlaku sewajarnya seorang ibu rumah tangga. Tapi ketika hendak dilayani oleh Pendeta, ia mulai gelisah dan ketika mendengar lagu pujian penyembahan kepada Allah, ia berteriak dan bermanifestasi dengan hebat.
Dengan berbagai macam cara, Setan berusaha menunjukkan bahwa ia adalah ahli yang ulung bahkan berani menantang manusia karena merasa berkekuatan lebih besar. Memang manusia lemah tapi Tuhan Yesus Kristus memiliki kekuatan lebih hebat daripada Setan. Oleh sebab itu semua orang Kristen yang sudah lahir baru sesungguhnya mempunyai kuasa dalam nama Yesus untuk mengusir Setan. Amin.

ORANG KRISTEN DAN PENDERITAAN
Eksposisi Mazmur 73
oleh: Ev. Antonius Steven Un, S.Kom., M.Div.
Hari-hari ini, banyak orang Kristen bukan saja di Indonesia tetapi juga di luar negeri mengalami kesulitan khususnya akibat bencana alam, terorisme dan krisis ekonomi. Pergumulan di negara Indonesia, banyak jemaat yang mengeluh dengan mahalnya harga komoditi akibat perubahan iklim sementara penghasilan tidak bertambah. Di tengah krisis demikian, pergumulan kita menjadi tidak gampang. Bagaimanakah seharusnya orang Kristen menghadapi pergumulan?
Di dalam Alkitab, ada tiga tokoh besar yang bergumul dengan penderitaan yakni Ayub, Pemazmur 73 dan Habakuk. Dalam ketiga orang ini, mempunyai kemiripan pergumulan sekalipun modelnya bervariasi tetapi yang pasti jawaban pergumulan, perubahan dan komitmennya sama. Inilah yang kita mau belajar, khususnya dari Mazmur 73.
Bagian pertama, dari pergumulan si Pemazmur, ia akhirnya menjadi berkat bagi orang lain. Inilah paling tidak satu dari sekian banyak maksud Tuhan dalam penderitaan supaya setelah kita mendapatkan jawaban, kita menguatkan orang lain. Dalam ayat 1, si Pemazmur mengatakan “sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya”. Di sini, menandakan bahwa ia telah selesai bergumul dan menang karena dalam penderitaan itu, ia tidak menghujat Allah dan mengatai Allah itu buruk atau jahat melainkan mengakui Allah itu baik. Selain Mazmur 73, memang inilah ciri khas seluruh kitab Mazmur. Sebagaimana dikatakan John Calvin, inilah kitab yang membuka anatomi jiwa, membuka anatomi perasaan manusia. Kitab yang sangat jujur.
Ada satu ciri khas yang diungkapkan oleh Martin Llyod-Jones yakni Mazmur seringkali dimulai oleh kesimpulan dari pergumulan. Seperti Mazmur 23, seluruh kredo pergumulan Daud disimpulkan, “Tuhan adalah gembalaku, tak akan kekurangan aku”. Demikian pula di sini, ia ingin memberikan kesimpulan kepada orang percaya yang membaca refleksinya, Allah itu baik, bagi mereka yang sungguh-sungguh mengikuti Tuhan.
Selain kesimpulan, ayat 1 juga merupakan undangan. Pemazmur seolah ingin berkata, “jika saudara adalah orang percaya yang sungguh bersih dan tulus hatimu, dan engkau menderita, Mazmur ini untuk saudara. Sebuah mazmur tentang kebaikan Allah. Sekalipun saudara menderita, Allah itu baik”.
Bagian kedua, dalam Mazmur ini kita belajar bahwa orang percaya pun bukan saja bisa bergumul tetapi bahkan penuh dengan pergumulan. Tidak usah kita heran akan hal ini, karena bukan rancangan kita melainkan rancangan Tuhan yang terjadi. Kadang kita berpikir bahwa seharusnya jalannya akan begini dan begitu tetapi Tuhan mempunyai cara pikir yang berbeda.
Bergumul bukan dosa. Tuhan Yesus sendiri bergumul, bahkan bergumul dalam pencobaan. Dicobai bukan dosa. Jatuh dalam pencobaan barulah dosa. Memakai terminologi Paulus, “habis akal” bukan dosa. Putus asa barulah sesuatu yang tidak benar (2 Kor. 4:8b). Jika saudara dalam bisnis, keluarga, pendidikan mengalami habis akal, itu bukan dosa. Jangan takut. Tetapi yang harus saudara lakukan adalah tetap berpengharapan, jangan putus asa.
Saya mencatat, sejumlah pergumulan si Pemazmur. Pertama, bergumul untuk mempertahankan hati yang bersih (ayat 13). Pergumulan ini tidak gampang karena di setiap detik dan setiap inci kehidupan, godaan untuk membengkokkan hati begitu banyak dan kuat, baik dari kedagingan dalam diri, dunia, setan, dan sebagainya. Kedua, bergumul untuk setia dalam kesulitan (ayat 14). Mempertahankan hati yang bersih satu hal tetapi mempertahankan hati yang bersih dalam penderitaan adalah hal lain. Jikalau kita mengatakan “orang ini setia tapi hidupnya susah” maka konotasinya negatif. Tetapi jika kita mengatakan, “orang ini hidupnya susah tetapi ia setia” maka konotasinya lebih positif. Dan kalimat pertamalah yang muncul ketika Lukas menggambarkan Zakaria dan Elizabeth, orang tua Yohanes Pembaptis. Mereka setia tetapi mandul, tidak punya anak. Dalam pergumulan demikian, seringkali ada perbandingan dari dalam diri dan dari orang lain antara setia dan sulit. Kedua kata itu seperti bertentangan, seperti air dan minyak, sulit bertemu.
Pergumulan Pemazmur ketiga, bergumul dengan kecemburuan ketika melihat orang faik yang maju (ayat 3). Susah untuk menerima bahwa mereka yang tidak setia, hidupnya lebih lancar. Ada beberapa gambaran obyektif yang dicatat oleh Pemazmur. Dalam ayat 4a dikatakan kesakitan tidak ada mereka. Dalam bahasa asli, adalah kesakitan maut. Maksudnya, si Pemazmur melihat bahwa ada orang jahat yang sampai matinya tidak mengalami penyakit. Mati tua bukan mati sakit atau mati celaka.
Dalam ayat 4b dikatakan sehat dan gemuk tubuh mereka. Tidak semua yang sehat dan gemuk itu fasik tetapi orang fasik biasanya sehat-sehat. Bagiamana kalau pencuri atau perampok tetapi menderita penyakit stroke. Sulit dinalar. Sebaliknya, banyak orang yang setia dalam Alkitab, hidup mereka sakit-sakitan seperti Paulus, Calvin, dan sebagainya. Dalam ayat 5a dikatakan mereka tidak mengalami kesusahan manusia. Kasarnya, semua orang mengalami harga tempe dan terigu yang melambung tinggi, mereka tidak mengalaminya.
Ayat 8b dikatakan bahwa hal pemerasan mereka bicarakan dengan tinggi hati. Maksudnya, sudah dosa masih dibanggakan lagi. Ayat 12b dikatakan “mereka menambah harta benda dan senang selamanya”. Barangkali inilah gambaran yang paling menyakitkan. Orang jahat, penipu, yang bisnisnya kotor, semakin hari harta bendanya bertambah-tambah dan senang seterusnya. Sebaliknya, orang yang setia, ikut Tuhan, beriman, bisnisnya jujur, hidup bersih, malah harta benda semakin berkurang karena uang habis, tabungan habis, emas dijual, mobil dijual ganti sepeda motor, rumah yang besar dijual ganti yang kecil. Malah susah seterusnya.
Pergumulan Pemazmur yang keempat, bergumul mengalami cercaan dari orang fasik (ayat 3a, 8a, 9). Setia itu sulit. Setia dalam kesulitan lebih sulit. Setia dalam kesulitan dengan kecemburuan, tambah sulit. Sekarang, malah harus dengar caci maki. “Katanya ikut Tuhan, kok hidup susah”, “katanya anak Raja, kok ngontrak”, “katanya Allahnya yang empunya alam semesta, kok rumah saja tidak punya” dan seterusnya yang sangat menyakitkan dari orang fasik.
Pergumulan yang paling sulit dari semuanya adalah di dalam penderitaan orang setia, si Pemazmur melihat Tuhan diam dan tidak memberikan jawaban. Setidaknya kalau ia tidak mengasihi orang percaya, paling tidak mengadili orang fasik. Malah yang terlihat adalah Tuhan mengasihi orang fasik dan menghukum orang percaya, menulahi yang hatinya bersih (ayat 14).
Bagian ketiga, setelah pergumulan ini kita sekarang melihat jawaban yang diterima Pemazmur. Langkah pertama menuju jawaban adalah si Pemazmur menguasai diri. Seperti yang dinyatakan dalam 1 Petrus 4:7, kuasailah diri, jadilah tenang supaya kamu dapat berdoa. Menguasai diri memang tidak menyelesaikan persoalan apapun tetapi setidaknya tidak menambah persoalan baru supaya tidak terjadi sudah jatuh, tertimpa tangga.
Menguasai diri berarti si Pemazmur tenang, tidak emosional dan sebaliknya berpikir. Istilah “seandainya” dalam ayat 15 menandakan bahwa si Pemazmur sedang berpikir. Prinsipnya, jangan ambil keputusan penting apapun pada waktu emosi. Jangan ambil keputusan putus pacar, pindah pekerjaan, pindah kota dan sebagainya sebab pada waktu emosi, sulit berpikir dengan tenang. Bagaimana mengatakan itu kehendak Allah jika tidak berpikir dengan akal sehat? Sebab kehendak Allah tidak pernah membuang akal sehat. Melampaui akal sehat ya. Tetapi, melampaui berarti sudah pakai akal sehat masih tidak cukup.
Selain itu, menguasai diri juga berarti, sebagaimana yang dilakukan Ayub, menjaga bibirnya agar tidak berdosa. Dalam ayat 15, si pemazmur sedang berpikir, jika ia mengucapkan kalimat kekecewaan maka ia akan mengkhianati angkatan anak-anak Tuhan. Lebih baik kita mendengar perkataan dari Yakobus, janganlah cepat bicara atau cepat marah tetapi cepat mendengar supaya setelah masalah selesai kita tidak menyesal karena pernah mengucapkan kalimat yang tidak enak (1:19).
Menguasai diri juga berarti menghitung konsekuensi. Ia sedang menghitung resiko-resiko kalau ia bicara demikian maka akan mengkhianati angkatan umat Tuhan. Pada waktu kita terjepit, kita diajar untuk menguasai diri sehingga menghitung resiko agar jangan salah melangkah. Bagaimana pun terjepit tetap harus menguasai diri untuk menghitung resiko.
Bahkan yang disebut menguasai diri adalah setidaknya sampai ayat 16, Si Pemazmur puas dengan kondisi menggantung, belum ada jawaban, tetapi ia tidak memaksakan diri untuk mengambil jawaban sendiri sesuai dengan keinginan sendiri. Sabar menanti jawaban Tuhan, itulah penguasaan diri orang percaya dalam pergumulan penderitaan yang berat.
Dalam ayat 17 dikatakan bahwa ia mendapatkan jawaban ketika masuk ke tempat kudus. Konteks waktu itu adalah bahwa firman Tuhan tidak didapatkan di rumah melainkan dengan berada di rumah ibadah. Ia masuk dan memperhatikan. Perhatikan istilah “memperhatikan” dalam ayat 17. memperhatikan kesudahan orang fasik berarti ia berkonsentrasi pada waktu mendengar firman. Banyak orang percaya, sayangnya, pada waktu mereka bergumul, mereka menjauhi firman baik menjauhi ibadah maupun saat teduh. Akhirnya mereka tidak mendapatkan jawaban dan kondisinya tambah buruk.
Memperhatikan firman Tuhan adalah jawaban mutlak dalam pergumulan penderitaan. Dalam Daniel 9, dikatakan ia memperhatikan firman Tuhan melalui Yeremia. Ayub dan Habakuk juga mendapatkan jawaban dari firman Tuhan. Jika bukan firman Tuhan, apalagi jawaban bagi pergumulan kita?
Si Pemazmur mendapatkan jawaban tentang kenikmatan orang fasik dan penderitaan orang percaya adalah ketika mendengar khotbah tentang penghakiman. Lucu yah. Bagaimana bisa orang lagi susah kok mendengar firman tentang neraka? Psikologi sekuler tidak bisa menerimanya. Matthew Arnold mengatakan, kalau memperhatikan kehidupan orang harus utuh. Jangan lihat enaknya sekarang tetapi lihatlah akhiratnya. Jadi, kesimpulan Pemazmur bahwa orang fasik senang selamanya, tidak sepenuhnya benar. Itu kesimpulan emosionalnya. Yang benar adalah bahwa memang mereka kelihatan senang sekarang tetapi nanti belum tentu. Kalau kita melihat kehidupan orang benar yang senang sekarang, jangan lupa melihat masa lalunya, mungkin banyak penderitaan. Kalau kita melihat kehidupan orang fasik yang senang sekarang, jangan lupa melihat masa depannya, mungkin banyak penderitaan.
Sampai di sini, kita mendapatkan pelajaran berharga. Yang disebut dengan jawaban pergumulan itu bukan perubahan keadaan. Nanti di ayat selanjutnya juga kita lihat bahwa keadaan si Pemazmur tidak dicatat berubah. Dari tiga orang besar yang bergumul dengan penderitaan, hanya Ayub yang dicatat mengalami perubahan keadaan. Tetapi itu terjadi setelah ia mendapatkan jawaban firman yang merubah hidupnya dan membangun komitmen baru. Pemazmur dan Habakuk tidak mendapatkan perubahan keadaan tetapi perubahan hidup melalui firman. Jadi, yang disebut jawaban pergumulan bukan perubahan keadaan tetapi perubahan hidup oleh firman yang diwujudkan dengan komitmen baru. Jangan bermimpi perubahan keadaan karena itu bukan jawaban Alkitab. Namun demikian, konsep ini tidak berarti kita tidak berusaha mencari jalan keluar. Itu hal lain yang tidak kita bicarakan di sini.
Bagian terakhir, akhir dari pergumulan itu, si Pemazmur membangun komitmen baru. Ada tiga komitmen di sini. Komitmen pertama, tetap dekat dengan Tuhan dalam penderitaan (ayat 23-24). Komitmen dalam keadaan sulit (ayat 21-22) bahkan ia merasa diri dungu dan seperti hewan. Dekat itulah baru ia mendapat kekuatan. Jika ia lari dari Tuhan, di manakah jawabannya? Banyak orang Kristen waktu susah malah menjauh dari Tuhan sehingga hidup mereka tambah parah. Jika saudara menjauh, sekarang kembalilah supaya Tuhan menjawab hidup saudara!
Dalam komitmen pertama itu kemudian kita melihat pertolongan Tuhan, persis seperti menolong orang yang pingsan. Dikatakan ”Engkau memegang tangan kananku”. Kalau Alkitab menyatakan bahwa Allah memegang kita dengan tangan kananNya itu berarti kekuatan (mis. Yes. 41:10). Kalau Alkitab mengatakan Allah memegang tangan kanan kita, itu berarti kenyamanan, supaya tidak jatuh tergeletak. Setelah itu, dituntun selangkah demi selangkah menuju ke tempat yang lebih baik secara kerohanian supaya ia tidak tergelincir (bdk. Ayat 2).
Komitmen yang kedua adalah tetap mengasihi Tuhan sekalipun dalam penderitaan (ayat 25-26). Kalau komitmen pertama adalah tetap dekat Tuhan sekalipun masih merasa tidak enak atau pusing maka yang kedua ini mulai menikmati dan mengasihi Tuhan. Komitmen ketiga adalah selama-lamanya berjalan bersama Allah. NIV menerjemahkan ”adalah baik bagi ku untuk dekat dengan Allah”. Selama-lamanya, entah susah atau senang, entah mendung, hujan atau cerah tetap berjalan bersama dengan Allah. Sehingga, komitmennya adalah kasih dari hati terdalam kepada Allah, tidak tergantung kondisi enak atau tidak.
Sampai di sini, si Pemazmur menang. Puji Tuhan. Ingin menang dalam penderitaan? Jangan jauhi Tuhan dan cintailah firman-Nya. Semoga!
Ev. Antonius Steven Un, S.Kom., M.Div. adalah gembala sidang Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Malang, Ketua Sekolah Theologia Reformed Injili Malang (STRIM) dan peneliti pada Reformed Center for Religion and Society. Beliau meraih gelar Master of Divinity (M.Div.) dari Institut Reformed, Jakarta.

"For I am not ashamed of the gospel of Christ: for it is the power of God unto salvation to every one that believeth; to the Jew first, and also to the Greek."
(Romans 1:16; King James Version)

Thursday, April 10, 2008

CHRIST REDEEM CULTURE
oleh :
Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats : Matius 15:1-11
Setiap tempat pastilah mempunyai budaya dan budaya masing-masing tempat atau daerah pastilah berbeda. Sebagai contoh, di Jepang ada budaya minum teh tetapi di Indonesia kita menganggap biasa bahkan suatu benda bisa bernilai sangat mahal karena didalamnya ditambahkan makna tertentu. Manusia mencoba merelasikan antara hal yang duniawi dengan hal spiritual akibatnya hal yang sepele yang tidak bermakna bisa menjadi bermasalah besar. Alkitab mencatat beberapa orang Farisi dan ahli Taurat datang dari Yerusalem hanya untuk menegur Tuhan Yesus tentang hal membasuh tangan yang tidak dilakukan oleh para murid sebelum makan, mereka dianggap telah melanggar adat istiadat. Bagi orang Yahudi, membasuh tangan itu menyatakan suatu penghormatan kepada Allah sebelum kita menikmati makanan. Budaya cuci tangan merupakan sesuatu yang sifatnya fisik tetapi telah diberi makna dan direlasikan dengan dunia metafisika, dihubungkan dengan Allah. Atas kejadian ini, Tuhan Yesus balik menegur mereka yang telah melanggar perintah Allah yang berbunyi: ”Hormatilah ayahmu dan ibumu” karena dengan alasan persembahan pada Allah, orang mengabaikan orang tuanya. Tuhan Yesus menegur sangat keras akan hal ini karena dalam hal ini, perintah Allah telah dikalahkan oleh adat istiadat. Timbul perdebatan yang sangat rumit bahkan timbul perpecahan dalam perpecahan dalam Kekristenan, yakni manakah yang lebih penting adat istiadat ataukah firman Tuhan.
Richard Niebuhr dalam bukunya Christ and Culture mengungkapkan lima pendekatan antara kebudayaan dan Kristus namun perhatikan, kelima pendekatan ini tidak dapat dikatakan benar secara keseluruhan, yakni:
1. Christ against culture
Kristus menghancurkan seluruh kebudayaan yang ada di dunia karena semua kebudayaan dipandang salah dan jahat. Hal ini tidaklah tepat sebab dalam banyak aspek, Kristus tetap berada dalam budaya, Kristus tetap menjalankan budaya Yahudi. Kritus melawan budaya ini seolah-olah menjadikan Kristus tinggi dan Kekristenan agung. Pandangan-pandangan radikal seperti ini akhirnya membuat Kekristenan tidak bisa lagi hidup di tengah dunia. Orang yang memegang prinsip ini, biasanya akan tersingkir dan Kristus menjadi kalah. Mereka membentuk kebudayaan sendiri, kelompok tersendiri dan hidup tersendiri. Mereka menganggap kebudayaan itu sebagai kebudayaan Kristus tetapi sesungguhnya, kebudayaan itu tidak ubahnya dengan budaya dunia yang membedakan kebudayaan mereka tidak cocok dengan kebudayaan dunia. Perhatikan, Alkitab tidak pernah mengajarkan kita untuk melawan dan menjadi anti budaya.
2. Christ of Culture
Budaya harus diisi dengan hal-hal yang berbau Kekristenan dengan demikian kebudayaan itu menjadi milik Kristus sekarang. Konsep inilah yang hari ini banyak dipakai. Orang menganggap cara ini merupakan suatu kerjasama dimana kita tidak menghancurkan budaya tetapi kita menggunakan semua budaya yang ada dengan demikian budaya yang tadinya budaya setan kini menjadi budaya Kristus. Adalah kesalahan fatal, banyak orang yang menganggap budaya itu sifatnya netral maka tergantung dari siapa yang memakainya. Budaya itu akan menjadi milik setan kalau setan yang memakainya maka budaya itu menjadi the culture of satan, atau kalau manusia yang menggunakannya akan menjadi the culture of human being, dan kalau Kristus yang memakai budaya akan menjadi the culture of Christ. Sebagai contoh, banyak musik duniawi yang diberi tambahan ayat alkitab langsung dikatakan sebagai budaya Kristus. Demikian pula halnya dengan cara berpakaian, orang menganggap sudah menjadi budaya Kristus kalau sudah memberinya dengan aksesori atau atribut ”rohani.” Orang Yahudi juga melakukan hal yang sama, budaya duniawi yang mereka pandang baik lalu dilabel dengan agama maka mereka sudah menganggapnya sebagai agama. Hari inipun masih banyak orang yang tidak mengerti apa itu agama, mereka hanya memakai adat istiadat yang diberi label agama tertentu dan menganggapnya sebagai budaya. Dalam hal ini budaya itu lebih besar sedang Kristus hanya mengikut di dalamnya.
3. Christ above Culture
Konsep ini hendak melengkapi konsep kedua namun justru menjadikan budaya itu aneh; Kristus seolah-olah hanya hidup dalam satu kultur tertentu yang mengatasi semua kultur. Islam menjadikan
kultur Timur Tengah sebagai suatu kultur agama sehingga cara berpakaian, cara makan, dan lain-lain harus mengikuti satu kultur tersebut. Dalam kondisi budaya seperti demikian maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah budaya ini merupakan budaya yang boleh diberi label tertentu lalu dibawa ke semua tempat? Seberapa jauhkah relatifitas suatu daerah dalam budaya? Demikian halnya dengan kultur barat yang membawa Kekristenan masuk ke Indonesia membawa dampak besar. Kultur Eropa itu dianggap sebagai kultur Kristen. Dampak itu tidak hanya pada cara hidup saja tetapi juga jiwa kolonialisme itu mempengaruhi pemikiran orang-orang di Asia. Ketika orang-orang Eropa datang ke Asia. Dalam bagian ini, Kristus membangun suatu kultur yang sifatnya kaku dan spesifik yang dan semua kultur yang ada harus mengikut pada satu kultur ini. Tidak!
4. Christ and Culture in Paradox
Budaya hidup berada dalam dua dunia – Kristus punya kultur tersendiri dan dunia juga punya kultur tersendiri, kedua kultur ini berjalan secara bersamaan dimana keduanya tidak saling menganggu dan tidak saling meniadakan. Pandangan inilah yang diajarkan oleh kaum posmodern. Konsep ini menjadikan orang Kristen hidup dalam dua dunia. Ketika orang berada di dalam gereja maka ia harus langsung menyesuaikan diri dengan kultur yang dianggap sebagai kultur Kristen, orang harus berlaku sopan, jujur namun ketika berada di luar lingkungan gereja maka orang boleh liar dan berbuat sesuka hati layaknya dunia. Konsep ini dianggap relevan di abad 20 ini namun Kekristenan tidak setuju akan pandangan ini.
5. Christ Transform Culture
Dari kelima konsep yang diungkapkan oleh Niebuhr maka konsep kelima ini yang paling banyak diingat oleh orang. Kristus mentransform kultur artinya bahwa kultur itu tidak salah cuma kultur itu perlu ditransformasi. Pertanyaannya benarkah kultur bisa dirubah? Atau lebih tepatnya, Christ redeem the culture – Kristus menebus budaya berarti ada nilai yang harus dibayar. Hal ini yang lebih tepat dalam mandat budaya. Theologi Reformed umumnya, secara posisi mengikut konsep ini, yakni Christ transforming culture, Kristus mengisi kembali budaya yang sudah ada untuk dikembalikan pada apa yang seharusnya. Ada beberapa prinsip penting yang harus diperhatikan ketika mentransform, yakni: kita harus tahu mana yang harus dan mana yang tidak, mana yang mutlak dan mana yang relatif. Sesuatu yang harus dirubah maka harus dirubah – perubahan ini sifatnya esensial tetapi ada bagian-bagian tertentu yang relatif harus berproses seiring dengan berjalannya waktu. Kita harus peka ketika kita masuk dalam suatu budaya, kita tidak perlu merubah budaya yang ada sepanjang budaya itu baik dan agung. Budaya pasti punya unsur baik sebagai anugerah umum namun sayang, budaya tidak mengerti apa yang disebut dengan anugerah umum. Sangatlah disayangkan, konsep anugerah umum inipun tidak dimengerti, orang tidak mengerti bahwa pencemaran dosa menyebabkan budaya menjadi liar dan untuk dapat memilah ini dibutuhkan anugerah khusus, yakni anugerah keselamatan. Adalah tugas Kekristenan membukakan tentang kebenaran kepada mereka.
Christ Redeem Culture
Kristus tidak merombak seluruh budaya yang ada. Kristus hanya mengubah dan membongkar budaya yang salah yang sifatnya esensial dan mutlak yang menyangkut standar dan prinsip. Tuhan Yesus menegur keras budaya orang Yahudi yang begitu sombong, mereka tidak mau dekat bahkan berbicara dengan orang Samaria. Kebudayaan seperti inilah yang hendak dibongkar oleh Tuhan Yesus lalu ditransformasi dan untuk hal ini ada harga yang harus dibayar dan harganya sangat mahal. Kristus harus menebus budaya yang salah. Kekristenan percaya bahwa Allah sejati hanya satu sedangkan budaya percaya bahwa “allah“ itu banyak dimana kita boleh menyembah pada allah yang mana saja. Budaya ini tidak dapat dibenarkan dan budaya ini haruslah dilawan dan dihancurkan sebab budaya itu salah karena sifatnya esensi dan absolut. Berbeda halnya kalau budaya yang salah itu bersifat relatifis hanya menyangkut unsur luar yang sekunder maka seiring berjalannya waktu, budaya itu harus kita ubah dan hal itu tidaklah mudah dibutuhkan perjuangan dan usaha. Namun kalau budaya itu sudah menyangkut hakekat ibadah, prinsip theologi maka budaya itu mutlak harus diubah. Allah menuntut kita untuk menyembah hanya pada satu Allah saja, Allah tidak ingin kita berzinah secara rohani maka budaya yang mengkompromikan akan hal ini tidak dapat dibenarkan.
Kalau kita tidak mengerti hal ini maka kita akan menjadi bingung dimana harus berposisi, kita tidak tahu bagaimana memilah antara prinsip kebenaran dan budaya. Moralitas Kristen lebih tinggi dari moralitas dunia maka moralitas dunia haruslah tunduk pada moralitas Kristen. Dalam bagian ini, orang masih bisa jatuh bangun dan Kekristenan masih memberikan toleransi untuk orang belajar, dididik dan diajar berproses menuju pada moralitas yang agung dan perhatikan, hal ini tidaklah mempengaruhi keselamatan seseorang. Demikian juga halnya dengan hal cuci tangan, apakah hal cuci tangan dipandang sebagai hal serius yang menjadi adat istiadat pengunci yang mempengaruhi keselamatan seseorang? Tidak! Itulah sebabnya, Tuhan Yesus menegur dengan keras dan membalikkan konsep berpikir orang Yahudi yang salah.
Van Til melihat iman manusia didasarkan pada dua aspek, yaitu: 1) iman yang menggunakan pendekatan antroposentric religion, yakni segala sesuatu berpusatkan pada manusia, 2) segala sesuatu haruslah dilihat dari kedaulatan Allah dan theologi Reformed adalah satu-satunya theologi yang menuntut kedaulatan Allah haruslah berada di atas semua unsur manusia. Taurat diberikan supaya manusia mengerti isi hati Allah tetapi orang memakai taurat sebagai alat manusia untuk kepentingan humanitas. Orang yang melihat dari sudut pandang manusia pastilah beranggapan bahwa Allah tidak konsisten sebab di salah satu hukumnya, dilarang membunuh tetapi di sisi lain, Allah memerintahkan manusia untuk membunuh. Inilah natur manusia berdosa. Alkitab menyatakan Allah yang kasih itu menyediakan neraka, Allah menyediakan hukuman mati bagi orang berdosa. Dalam hal ini, kita harus melihat dari sisi Allah. Ada tiga aspek yang perlu kita perhatikan, yakni: 1) kalau membunuh itu didasarkan atas kepentingan pribadi manusia maka ia berdosa, 2) membunuh didasarkan atas kebencian, unsur interpersonal – Alkitab menegaskan bahwa membenci seseorang saja berarti sudah membunuh, hal ini menjadi hakekat atau esensi di balik tindakan, 3) membunuh merupakan pelanggaran keadilan maka hukuman yang diterapkan adalah hukuman keadilan. Alkitab sangat setuju dengan capital punishment, kalau kita melihat dari sudut manusia, kita akan merasa Tuhan itu tidak adil, Tuhan tidak berbelas kasih. Tidak! Alkitab dengan tegas menyatakan kalau Allah telah menetapkan hukuman mati maka itu tidak didasarkan atas kepentingan pribadi tetapi hal itu mutlak dan harus dilakukan karena sifatnya absolut, dan hukuman diberikan untuk menjadikan dunia lebih aman; seorang pembunuh kejam haruslah dihukum sebelum ia melakukan tindakan pembunuhan lain yang lebih kejam dan menjadikan dunia lebih hancur. Betapa bodohnya manusia kalau karena alasan mengasihi, dunia menjadi kacau dan hancur. Kebenaran dan keadilan Allah harus ditegakkan di tengah dunia berdosa.
Budaya harus balik pada Allah. Beberapa ahli budaya dan para teolog melihat kelemahan konsep Niebuhr yang melihat Kristus dan budaya secara dualisme. Yang menjadi titik permasalahan adalah agama, iman atau filsafat yang membentuk budaya ataukah sebaliknya, budaya yang membentuk agama? Apakah agama itu menjadi bagian dari sebuah budaya? Merupakan suatu kesalahan fatal, hari ini orang mengajarkan bahwa agama membentuk suatu pemikiran filsafat dan pemikiran filsafat membentuk budaya dan budaya membentuk semua implikasi budaya, seperti bahasa, agama, bangunan, cara berpakaian dan semua tatanan keadilan dan hukum, dan lain-lain. Alkitab menegaskan iman adalah mutlak, titik tertinggi; iman membentuk pola berpikir atau filosofi agama dan dari filosofi agaman ini barulah membentuk budaya dan budaya membentuk perilaku. Kalau iman kita tidak beres maka budaya pastilah akan liar. Maka dapatlah disimpulkan, iman menentukan budaya; budaya dan Kristus bukanlah dualisme. Pertanyaannya adalah seberapa jauhkah kita mengutamakan Kristus? Ketika kita men-Tuhankan Kristus dalam seluruh aspek hidup kita maka pada saat itu budaya akan terbentuk secara sendirinya dimanapun kita berada. Budaya adalah produk iman, puncak dari iman kepercayaan kita dan terkadang, budaya ini menjadikan kita berbeda dengan budaya yang ada di sekeliling kita. Hal ini akan mempengaruhi hubungan relasi kita, etos kerja, etika hidup, hubungan suami-istri, dan lain-lain. Orang yang beriman humanis maka seluruh perilakunya akan menjadi humanis. Janganlah kita terjebak dengan konsep yang dipaparkan oleh Niebuhr bahkan beberapa tokoh reformed seperti Abraham Kuyper dan Dooyewerd terpengaruh konsep Niebuhr, yakni konsep Christ transforming culture.
Perdebatan antara budaya dan Kristus seringkali terjadi sampai hari ini namun ingat, jangan perdebatkan Kristus dengan budaya sebab Kristus adalah Allah sejati, Ia tidak sebanding kalau diperdebatkan dengan budaya yang sifatnya tatanan praktis. Percaya kepada Kristus merupakan pusat iman sedang budaya hanyalah implikasi iman maka sangatlah tidak pas kalau kita menaruh budaya di posisi atas sebab budaya tidak punya dasar yang kuat. Celakanya pendidikan hari ini didasarkan pada humanitas atau evolusi dimana Allah tidak ada didalamnya akibatnya cara pandang kita akan sangat duniawi dan humanis. Hendaklah kita kembali pada natur dan atribut Kristus, yakni adil, suci, benar, mulia, manis dan sedap didengar maka budaya akan terintegrasi dengan baik dan menghasilkan budaya yang agung. Hal inilah yang disebut sebagai mandat budaya. Mandat budaya bukanlah percampuran atau sinkretisme antara Kristus dan budaya. Mandat budaya adalah setiap budaya yang harus disorot dari iman Kristen menjadikan apa yang benar dan salah menjadi terbuka di hadapan Kristus. Dunia semakin hari semakin menuju kehancuran, dunia tidak menjadi semakin baik, moralitas menjadi rusak, budaya semakin hancur – kita harus semakin kokoh dalam iman dan kebenaran, berdiri teguh di atas Firman dan tugas setiap anak Tuhan menjadi terang dan garam di tengah dunia dan berani dengan tegas menyatakan kebenaran dan menegur budaya yang salah. Amin.

DAMAI DENGAN ALLAH
Kolose 1:19-29

I) Salib mendamaikan kita dengan Allah.

1) Kita (orang yang belum percaya) membutuhkan pendamaian dengan Allah. Mengapa? Karena:

a) Kita hidup jauh dari Allah (ay 21 bdk. Ef 2:12b - 'tanpa Allah').

b) Kita memusuhi Allah dalam hati dan pikiran kita (ay 21).
·
'dalam hati dan pikiran' (ay 21). Ini salah.

NASB: in mind (= dalam pikiran).

NIV: in your mind (= dalam pikiranmu).
·
memusuhi Allah dalam pikiran ini tidak mesti diartikan bahwa dalam pikirannya manusia itu betul-betul membenci Allah dan menganggap Allah sebagai musuhnya. Tetapi maksudnya adalah bahwa kita selalu menginginkan hal-hal yang tidak disenangi oleh Allah (bdk. Ro 8:7-8).

Calvin: “We all, however, stand in need of Christ as our peace-maker, because we are the slaves of sin, and where sin is, there is enmity between God and men” (= Bagaimanapun kita semua membutuhkan Kristus sebagai pendamai kita, karena kita adalah hamba dosa, dan dimana dosa ada, di situ ada permusuhan antara Allah dengan manusia).

c) 'Memusuhi Allah dalam pikiran' akhirnya terwujud melalui 'perbuatanmu yang jahat' (ay 21).

Memang kalau pikiran kita tidak benar, maka lambat atau cepat kehidupan kita (kata-kata maupun tindakan) juga akan tidak benar.

Karena semua ini, maka murka Allah ada di atas kita (Ef 2:3 Yoh 3:36), dan kita membutuhkan pendamaian. Ini perlu disadari oleh semua manusia, yang belum percaya kepada Kristus!

2) Pendamaian oleh Kristus.

Ay 20 - 'oleh Dialah Ia mendamaikan segala sesuatu dengan diriNya ... sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus'.

Bdk. Ro 3:25 - “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pen-damaian karena iman, dalam darahNya”.

Calvin: “such is the determination of God - not to communicate himself, or his gifts to men, otherwise than by his Son. 'Christ is all things to us: apart from him we have nothing. ... we cannot be joined to God otherwise than through him” (= begitulah ketetapan / penentuan Allah - tidak memberikan diriNya sendiri, atau karunia-karuniaNya kepada manusia kecuali melalui AnakNya. 'Kristus adalah segala-galanya bagi kita: terpisah dari Dia kita tidak mempunyai apa-apa. ... kita tidak bisa disatukan / digabungkan dengan Allah kecuali melalui Dia).

Pendamaian manusia dengan Allah hanya dimungkinkan melalui Kristus karena Kristus sudah mati di salib, mencurahkan darahNya untuk menebus dosa kita. Ini yang seharusnya direnungkan / dikenang dalam merayakan Jum'at Agung! Kita harus merenungkan salib Kristus sedemikian rupa sampai kita betul-betul merasakan kasih Allah kepada kita, dan juga sampai kita membalas mengasihi Allah.

William Barclay: “The Cross is the proof that there is no length to which the love of God will refuse to go in order to win men's hearts; and a love like that demands an answering love. If the Cross will not waken love in men's hearts, nothing will” (= Salib adalah bukti bahwa tidak ada jarak yang tidak mau ditempuh oleh kasih Allah untuk memenangkan hati manusia; dan kasih seperti itu menuntut kasih balasan. Jika salib tidak membangunkan / menghidupkan kasih dalam hati manusia, maka tidak ada apapun yang akan membangunkan / menghidupkannya).

3) Siapa yang diperdamaikan dengan Allah?

Ay 20 mengatakan 'segala sesuatu' dan bahkan menambahi dengan kata-kata 'baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga'.

Macam-macam tafsiran:

a) Malaikat juga punya dosa. Dasar Kitab Suci: Ayub 4:18 15:15.

Calvin mengatakan bahwa sekalipun malaikat tidak mempunyai dosa tetapi kesucian mereka kotor dibandingkan dengan kebenaran / kesucian Allah, sehingga mereka juga perlu pendamai.

Keberatan: malaikat hanya mempunyai 2 kemungkinan:
·
jatuh dalam dosa ini. Ini menjadi setan dan para pengikutnya, dan yang ini jelas tidak ditebus (Ibr 2:14-17).
·
Tetap suci. Yang ini tidak membutuhkan penebusan / pendamaian.

b) Origen, yang menurut Hendriksen adalah Universalist yang pertama, berpendapat bahwa ini menunjukkan bahwa Iblis dan malaikat-malaikatnya juga ditebus, sehingga nanti pada akhirnya mereka juga diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Kristus.

c) Theodoret dan Erasmus: malaikat-malaikat itu bukan diperdamaikan dengan Allah, tetapi dengan manusia. Tetapi ini bertentangan dengan kata-kata 'dengan diriNya' dalam ay 20. Hebatnya Barclay menganggap ini sebagai 'the most interesting suggestion' (= usul yang paling menarik).

d) 'Yang ada di sorga' menunjuk kepada semua orang pilihan / percaya yang sudah mati, sedangkan 'yang ada di bumi' menunjuk kepada semua orang pilihan / percaya yang masih hidup.

Sebagai tambahan, bandingkan ini dengan ay 23: 'dikabarkan di seluruh alam di bawah langit'. Ini salah terjemahan.

NIV: 'has been proclaimed to every creature under heaven' (= telah dikabarkan kepada setiap makhluk ciptaan di bawah langit).

NASB/Lit: 'was proclaimed in all creation under heaven' (= telah dikabarkan dalam semua ciptaan di bawah langit).

Ini tidak ditafsirkan bahwa Paulus memberitakan Injil kepada setan, binatang, atau batu / pohon, tetapi diartikan bahwa Paulus memberitakan Injil kepada 'semua manusia'! Jadi ay 20 juga tidak perlu mencakup malaikat, setan atau binatang.

Tetapi mengapa untuk ay 20 kita tidak menafsirkan 'semua orang' tetapi 'semua orang pilihan'? Karena:
·
Ay 20 tidak menyebut yang di neraka. Jadi memang ada orang yang tidak diperdamaikan dengan Allah.
·
Jika 'segala sesuatu' dalam ay 20 ini 'semua orang', maka ini menjurus pada Universalisme, karena ay 20 ini mengatakan 'memperdamaikan segala sesuatu dengan diriNya'.

Calvin: “Should any one, on the pretext of the universality of the expression, move a question in reference to devils, whether Christ be their peace-maker also? I answer, No, not even of the wicked men: though I confess that there is a difference, inasmuch as the benefit of redemption is offered to the latter, but not to the former” (= Jika ada orang, dengan dalih keuniversalan pernyataan ini, menanyakan pertanyaan berkenaan dengan setan, apakah Kristus juga adalah pendamai mereka? Saya menjawab, Tidak, bahkan Kristus bukanlah pendamai orang-orang jahat: sekalipun saya mengakui bahwa ada perbedaan, karena keuntungan penebusan ditawarkan kepada orang-orang jahat, tetapi tidak kepada setan).

Catatan: yang dimaksud dengan 'wicked men' (= orang-orang jahat), jelas adalah orang jahat yang tidak percaya, atau 'reprobate' (= orang yang ditentukan untuk binasa).

Lalu bagaimana kita bisa tahu kita orang pilihan atau bukan? Kalau saudara bisa percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, maka saudara adalah orang pilihan. Kalau saudara bukan orang pilihan, paling banter saudara hanya bisa menjadi orang kristen KTP.

II) Apa yang harus dilakukan setelah damai dengan Allah?

1) Pengudusan (ay 22).

Tujuan dari perdamaian itu adalah kekudusan (bdk. Ef 2:10).

Beberapa penafsir mengatakan bahwa 'tak bercela dan tak bercacat di hadapan Allah' ini menunjuk pada keadaan orang percaya pada akhir jaman. Memang sekalipun dalam hidup ini kita berjuang menguduskan diri, kita tetap tidak bisa menjadi 'tak bercela dan tak bercacat di hadapan Allah' pada akhir jaman. Kita tetap membutuhkan penghapusan dosa melalui darah Kristus. Tetapi itu tidak berarti bahwa kita lalu boleh mengabaikan pengudusan itu! Kristus mati untuk dosa kita bukan supaya kita bisa terus hidup di dalam dosa! Bdk. 2Kor 5:15.

2) Bertekun dalam iman (ay 23).

a) Kata-kata 'sebab itu' di awal ay 23 merupakan terjemahan yang salah.

NIV/NASB: 'if' (= jika).

Yunani: EI (= jika).

Jadi 'tak bercela dan tak bercacat di hadapan Allah' dalam ay 22, hanya bisa terjadi kalau kita bertekun dalam iman.

William Hendriksen: “Divine preservation always presupposes human perseverance. Perseverance proves faith's genuine character, and is therefore indispensable to salvation” (= Pemeliharaan ilahi selalu mensya-ratkan ketekunan manusia. Ketekunan membuktikan sifat asli dari iman, dan karena itu mutlak dibutuhkan).

b) Hal-hal yang bisa menggeser kita dari iman / pengharapan Injil adalah:
·
ajaran sesat. Ini yang dipersoalkan oleh Paulus di Kolose ini.
·
problem / kesukaran / penderitaan. Ingat akan tanah golongan ke 2 (Mat 13:5-6,20-21).
·
daya tarik duniawi (uang, sex, kekuasaan, kesenangan). Ingat tanah golongan 3 (Mat 13:7,22).

c) Hal-hal yang perlu dilakukan supaya bisa bertekun dalam iman, adalah:
·
belajar Firman Tuhan.
·
berdoa.

3) Melayani Injil (ay 23b,25-28).

Ay 23: 'pelayannya' dimana kata 'nya' jelas menunjuk pada 'Injil'.

William Hendriksen: “A minister of the Gospel is one who knows the gospel, has been saved by the Christ of the gospel, and with joy of heart proclaims the gospel to others. Thus he serves the cause of the gospel” (= Seorang pelayan Injil adalah seorang yang mengetahui Injil, telah diselamatkan oleh Kristus dari Injil, dan dengan sukacita dari hati memberitakan Injil kepada orang-orang lain. Jadi ia melayani gerakan Injil).

Pada hari Jum'at Agung ini renungkan seberapa aktifnya saudara dalam memberitakan Injil? Sudah cukup aktifkah? Atau sebaliknya kurang aktif? Atau sudah berkurang keaktifannya, dalam arti dulu aktif sekarang tidak?

Kristus mati bukan hanya untuk saudara, tetapi untuk semua orang pilihan, dan banyak dari orang pilihan yang belum mendengar Injil dan karenanya belum diselamatkan. Kita memang tidak bisa tahu yang mana dari orang-orang yang belum percaya itu yang adalah orang pilihan dan yang mana yang bukan, dan karena itu kita harus memberitakan Injil kepada semua orang.

4) Menderita untuk jemaat / gereja (ay 24).

a) Ay 24: 'aku boleh menderita'.

NASB: 'in my sufferings' (= dalam penderitaan-penderitaanku). Ini bentuk jamak.

Kelihatannya pada saat menulis surat Kolose ini Paulus ada dalam penjara (bdk. 4:10,18). Ini jelas merupakan penderitaan yang hebat. Tetapi hebatnya, ia bersukacita karena hal itu (ay 24a)!

b) 'aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuhNya, yaitu jemaat' (ay 24b).

Roma Katolik menafsirkan bahwa ay 24b ini menunjukkan bahwa penebusan Kristus tidak sempurna, perlu ditambahi dengan penderitaan dari para martir. Dan memang dalam ajaran Roma Katolik ada hal-hal yang sejalan dengan ketidaksempurnaan penebusan Kristus, seperti:
·
api pencucian.
·
perbuatan baik manusia punya andil dalam keselamatan.

Tetapi ay 24b ini tidak mungkin diartikan bahwa penebusan Kristus tidak sempurna, karena:

1. Itu bertentangan dengan ajaran Kitab Suci yang ditunjukkan oleh ayat-ayat seperti Yoh 19:30 dan Ibr 10:11-14.

2. Herbert M. Carson (Tyndale): “Furthermore, he is dealing here at Colossae with a false teaching which denies the sufficiency of the work of Christ, and insists that it must be supplemented by asceticism and other human endeavours. Paul has replied in his opening chapter with an uncompromising stress on the preeminence of Christ, and the completeness of the redemption which He has accomplished. Is it then likely that he would cast this position to the winds and introduce a view which envisaged the perfecting of an incomplete atonement?” (= Selanjutnya, di sini di Kolose ia sedang menangani ajaran sesat yang menyangkal kecukupan pekerjaan Kristus, dan mendesak bahwa itu harus ditambahi dengan pertapaan dan usaha-usaha manusia yang lain. Paulus telah menjawab dalam pasal pembukaannya dengan penekanan yang tidak berkompromi pada penonjolan Kristus, dan kelengkapan dari penebusan yang telah Ia selesaikan. Lalu mungkinkah sekarang ia membuang pandangannya dan mengajukan suatu pandangan yang menggambarkan penyempurnaan dari suatu penebusan yang tidak lengkap?).

Catatan: bahwa surat Kolose memang menangani hal-hal tersebut di atas, terlihat dari Kol 2:8-23.

3. Herbert M. Carson (Tyndale): “The very word used here for suffering, thlipsis, is nowhere used in the New Testament to describe the atoning death of Christ, and, as Lightfoot points out, it 'certainly would not suggest a sacrificial act'” (= Kata yang digunakan di sini untuk penderitaan, THLIPSIS, tidak pernah digunakan dalam Perjanjian Baru untuk menggambarkan kematian Kristus untuk menebus dosa, dan, seperti ditunjukkan oleh Lightfoot, itu 'pasti tidak menunjukkan suatu tindakan pengorbanan').

4. Dalam ay 25 Paulus menyebut dirinya 'pelayan jemaat'. Jika dalam ay 24 ia memang mengajarkan bahwa penderitaan yang ia alami itu adalah untuk penebusan dosa, seharusnya ia mengaku diri sebagai 'pengantara' atau 'penebus'.

Lalu, apa artinya ay 24b ini?

1. Ini adalah penderitaan dalam pembangunan tubuh Kristus, dan dalam hal ini Kristus memberikan tempat untuk penderitaan lebih lanjut bagi para pengikutNya.

William Barclay: “He thinks of the sufferings through which he is passing as completing the sufferings of Jesus Christ himself. Jesus died to save his Church; but the Church must be upbuilt and extended; it must be kept strong and pure and true; therefore, anyone who serves the Church by widening her borders, establishing her faith, saving her from errors, is doing the work of Christ. And if such service involves suffering and sacrifice, that affliction is filling up and sharing the very suffering of Christ” (= Ia berpikir tentang penderitaan yang ia lalui sebagai melengkapi penderitaan Yesus Kristus sendiri. Yesus mati untuk menyelamatkan GerejaNya; tetapi Gereja harus dibangun dan diperluas; itu harus dijaga agar tetap kuat dan murni dan benar; karena itu, setiap orang yang melayani Gereja dengan memperluas batasan-batasannya, meneguhkan imannya, menyelamatkannya dari kesalahan, sedang melakukan pekerjaan Kristus. Dan jika pelayanan seperti itu mencakup penderitaan dan pengorbanan, penderitaan itu memenuhkan dan mengambil bagian dalam penderitaan Kristus).

James Fergusson (Geneva): “As the personal sufferings of Christ were for the church's redemption, and to satisfy the Father's justice for the sins of the elect, Acts 20:28, which he did completely, John 19:30; so the suffering of the saints are also for the church's good, though not for her redemption or expiation of sin, neither in its guilt nor punishment, 1John 1:7; yet to edify the church by their example, James 5:10, to comfort her under sufferings, 2Cor. 1:6, and to confirm that truth for which they do suffer, Phil. 2:17” (= Seperti penderitaan pribadi Kristus adalah untuk penebusan gereja, dan untuk memuaskan keadilan Bapa terhadap dosa-dosa orang pilihan, Kis 20:28, yang Ia lakukan secara lengkap, Yoh 19:30; begitulah penderitaan dari orang-orang kudus juga untuk kebaikan gereja, sekalipun bukan untuk penebusannya atau penebusan / pembayaran dosa, tidak dalam kesalahannya ataupun hukumannya, 1Yoh 1:7; tetapi untuk mendidik gereja oleh teladan mereka, Yak 5:10, untuk menghibur gereja dalam penderitaan, 2Kor 1:6, dan untuk meneguhkan kebenaran untuk mana mereka menderita, Fil 2:17).

2. Karena adanya kesatuan antara Kristus dan para pengikutNya, maka pada waktu pengikutNya menderita, Kristus juga menderita dalam dia.

James Fergusson (Geneva): “The sufferings of Paul, and of any other saints, are the sufferings of Christ, and the filling up of his sufferings; not as if Christ's personal sufferings for the redemption of sinners were imperfect, and so to be supplied by the sufferings of others, (see Heb. 10:14) but such is that sympathy betwixt Christ and believers, Acts 9:4, and so strict is that union among them, whereby he and they do but make up one mystical Christ, 1Cor. 12:12, that in those respects the sufferings of the saints are his sufferings, to wit, the sufferings of mystical Christ, which are not perfect nor filled up, until every member of his body endure their own allotted portion and share” (= Penderitaan dari Paulus, dan dari orang kudus yang lain, adalah penderitaan Kristus, dan memenuhkan / melengkapi penderitaanNya; bukan seakan-akan penderitaan pribadi Kristus untuk penebusan orang berdosa adalah tidak sempurna, dan karena itu harus disuplai oleh penderitaan orang-orang lain, (lihat Ibr 10:14) tetapi begitulah simpati antara Kristus dan orang-orang percaya, Kis 9:4, dan begitu ketat persatuan antara mereka, dengan mana Ia dan mereka membentuk satu Kristus yang mistik, 1Kor 12:12, bahwa dalam hal itu penderitaan orang-orang kudus adalah penderitaanNya, yaitu, penderitaan dari Kristus mistik, yang tidak sempurna atau penuh, sampai setiap anggota tubuhNya menanggung bagian mereka).

Pulpit Commentary keberatan dengan pandangan ini dengan alasan sebagai berikut:

“this view identifies Pauls' sufferings with his Master's while he expressly distinguishes them” (= pandangan ini mengidentikkan penderitaan Paulus dengan penderitaan TuanNya sementara ia secara jelas membedakan mereka).

3. Ini ditinjau dari sudut musuh-musuh Kristus.

William Hendriksen: “... although Christ by means of the affliction which he endured rendered complete satisfaction to God, so that Paul is able to glory in nothing but the cross (Gal. 6:14), the enemies of Christ were not satisfied! They hated Jesus with insatiable hatred, and wanted to add to his afflictions. But since he is no longer physically present on earth, their arrows, which are meant especially for him, strike his followers. It is in that sense that all true believers are in his stead supplying what, as the enemies see it, is lacking in the afflictions which Jesus endured. Christ's afflictions overflow toward us” [= ... sekalipun Kristus melalui penderitaan yang Ia tanggung memberikan pemuasan lengkap / penuh kepada Allah, sehingga Paulus bisa bermegah hanya dalam salib (Gal 6:14), musuh-musuh Kristus tidak dipuaskan! Mereka membenci Yesus dengan kebencian yang tidak terpuaskan, dan ingin menambah penderitaanNya. Tetapi karena Ia tidak lagi hadir secara jasmani di bumi ini, panah-panah mereka, yang sebetulnya dimaksudkan secara khusus untuk Dia, menyerang pengikut-pengikutNya. Adalah dalam arti ini dimana semua orang yang sungguh-sungguh percaya ada di tempatNya menyuplai apa, sebagaimana musuh-musuh itu melihatnya, yang kurang dalam penderitaan yang telah Yesus tanggung. Penderitaan Kristus meluap / melimpah kepada kita].

Bdk. Kis 9:4-5 2Kor 1:5 Gal 6:17 Fil 3:10 Wah 12:13 ('perempuan' = gereja).

Kesimpulan / penutup:

Untuk saudara yang belum yakin akan keselamatan / perdamaian dengan Allah, cepatlah datang kepada Kristus dan menerimaNya sebagai Juruselamat pribadi saudara. Untuk saudara yang sudah diperdamaikan dengan Allah, berjuanglah dalam pengudusan, bertekunlah dalam iman, aktiflah pemberitaan Injil, dan juga maulah dalam menderita bagi gereja! Kiranya Tuhan memberkati saudara.

-AMIN-

oleh : Pdt. Budi Asali M.Div.